Dalam urusan nikah mut’ah Syi’ah memiliki banyak keburukan, kekejian, hal-hal yang menjijikkan dan kebodohan terhadap Islam. Mereka
mengangkat nilai setiap keburukan dan meninggikan setiap yang kotor.
Mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah (berupa zina) atas nama
agama dan dusta terhadap para Imam. Mereka membolehkan semua yang mereka
mau, mereka membiarkan nafsu tenggelam dalam kelezatan yang menipu dan
kemungkaran-kemungkaran. Mut’ah adalah sebaik-baik saksi dan bukti,
mereka telah menghiasi mut’ah dengan segala kesucian, keagungan dan
keanggunan, hingga mereka menjadikan balasan pelakunya adalah surga
-Naudzubillah-, mereka memperbanyak keutamaan-keutamaan mut’ah dan
keistimewaannya, seraya menyesatkan -sebagaimana lazimnya- orang-orang
yang mereka jadikan sebagai tawanan bagi ucapan-ucapan mereka yang
dusta. Di antaranya ialah:
Al-Kasyani dalam tafsirnya, berbohong atas Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, mereka mengatakan bahwa beliau bersabda, Telah
datang kepadaku Jibril darl sisi Tuhanku, membawa sebuah hadiah.
Kepadaku hadiah itu adalah menikmati wanita-wanita mukminah (dengan
kawin kontrak). Allah belum pernah memberikan hadiah kepada para nabipun
sebelumku, Ketahuilah mut’ah adalah keistimewaan yang dikhususkan oleh
Allah untukku, karena keutamaanku melebihi semua para nabi terdahulu.
Barangsiapa melakukan mut’ah sekali dalam umurnya, la menjadi ahli
surga. Jika laki-laki dan wanita yang melakukan mut’ah berter di suatu
tempat, maka satu malaikat turun kepadanya untuk menjaga hingga mereka
berpisah. Apabila mereka bercengkerama maka obrolan mereka adalah
berdzikir dan tasbih. Apabila yang satu memegang tangan pasangannya maka
dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan bercucuran keluar dari jemari
keduanya. Apabila yang satu mencium yang lain maka ditulis pahala mereka
setiap ciuman seperti pahala haji dan umrah. Dan ditulis dalam jima’
(persetubuhan) mereka, setiap syahwat dan kelezatan satu kebajikan
bagaikan gunung-gunung yang menjulang ke langit. Jika mereka berdua
asyik dengan mandi dan air berjatuhan, maka Allah menciptakan dengan
setiap tetesan itu satu malaikat yang bertasbih dan menyucikan Allah,
sedang pahala tasbih dan taqdisnya ditulis untuk keduanya hingga hari
Kiamat.” (Tafsir Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani)
Mereka juga berdusta atas nama Ja’far Ash-Shadiq, alim yang menjadi lautan ilmu ini! dikatakan oleh mereka telah bersabda: “Mut’ah
itu adalah agamaku dan agama bapak-bapakku. Yang mengamalkannya,
mengamalkan agama kami dan yang mengingkarinya mengingkari agama kami,
bahkan ia memeluk agama selain agama kami. Dan anak dari mut’ah lebih
utama dari pada anak istri yang langgeng. Dan yang mengingkari mut’ah
adalah kafir murtad.” (Tafsir Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani hal.356)
Mereka juga berbohong atas nama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam, mereka mengatakan bahwa beliau bersabda: “’Barangsiapa
melakukan mut’ah sekali dimerdekakan sepertiganya dari api neraka, yang
mut’ah dua kali dimerdekakan dua pertiganya dari api neraka dan yang
melakukan mut’ah tiga kali dimerdekakan dirinya dari neraka.”
Mereka menambah tingkat kejahatan dn kesesatan merea dengan meriwayatkan atas nama Rasulullah Shallallhu‘alihi wasallam: “Barangsiapa
melakukan mut’ah dengan seorang wanita Mukminah, maka seoloh-olah dia
telah berziarah ke Ka’bah (berhaji sebanyak 70 kali).(‘Ujalah Hasanah Tarjamah Risalah Al Mut’ah oleh Al-Majlisi Hal.16).
Mut’ah, Rukun, Syarat dan Hukumnya
Fathullah
Al-Kasyani menukil di dalam tafsirnya sebagai berikut, “Supaya
diketahui bahwa rukun akad mut’ah itu ada lima: Suami, istri, mahar,
pembatasan waktu (Taukit) dan shighat ijab qabul.” (Tafsir Manhaj
Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani hal.357)
Dia menjelaskan, “Bilangan
pasangan mut’ah itu tidak terbatas, dan pasangan laki-laki tidak
berkewajiban memberi nama, tempat tinggal, dan sandang serta tidak
saling mewarisi antara suami-istri dan dua pasangan mut’ah ini. Semua
ini hanya ada dalam akad nikah yang langgeng,” (Tafsir Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani hal.352)
Syarat-syarat Mut’ah
-
Perkawinan ini cukup dengan akad (teransaksi) antara dua orang yang ingin bersenang-senang (mut’ah) tanpa ada para saksi!
-
Laki-laki terbebas dari beban nafkah!
-
Boleh bersenang-senang (tamattu’) dengan para wanita tanpa bilangan tertentu, sekalipun dengan seribu wanita!
-
Istri atau pasangan wanita tidak memiliki hak waris!
-
Tidak disyaratkan adanya ijin bapak atau wali perempuan!
-
Lamanya kontrak kawin mut’ah bisa beberapa detik saja atau lebih dari itu!
-
Wanita yang dinikmati (dimut’ah) statusnya sama dengan wanita sewaan atau budak!
Abu
Ja’far Ath-Thusi menukil bahwa Abu Abdillah Alaihis-Salam (Imam mereka
yang di anggap suci) ditanya tentang mut’ah apakah hanya dengan empat
wanita?
Dia menjawab, “Tidak, juga tidak hanya tujuh puluh.”
Sebagaimana dia juga pernah ditanya apakah hanya dengan empat wanita?
Dia
menjawab, “Kawinlah (secara mut’ah) dengan seribu orang dari mereka
karena mereka adalah wanita sewaan, tidak ada talak dan tidak ada waris
dia hanya wanita sewaan.”(At-Tahdzif oleh Abu Ja’far Aht-Thusi, Juz III/188)
Mereka menisbatkan kepada imam keenam. yang ma’shum dia bersabda, “Tidak mengapa mengawini gadis jika dia rela tanpa ijin bapaknya.” (At-Tahdzif Al-Ahkam juz VII/256)
Mereka menisbatkan kepada Ja’far Ash-Shadiq, dia ditanya, “Apa yang harus, saya katakan jika saya telah berduaan dengannya?” Dia
berkata, engkau cukup mengatakan ,aku mengawinimu secara mut’ah (untuk
bersenang-senang saja) berdasarkan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya,
tidak ada yang mewarisi dan tidak ada yang diwarisi, selama sekian!
hari.Jika kamu mau, sekian tahun, Dan kamu sebutkan upahnya, sesuatu
yang kalian sepakati sedikit atau banyak.(Al-Furu’ Min Al Kafi Juz V/455)
Demikianlah
kawin mut’ah dalam agama Syi’ah yang dengannya mereka menipu
orang-orang bodoh dari kalangan orang-orang yang awam, seraya menyihir
mata mereka dengan berbagai macam atraksi sulap dan sihir serta,
mengada-ada ucapan dusta, atas nama Allah dan Rasul-Nya.
Bantahan terhadap Kebolehan Mut’ah
Sesungguhnya
nikah mut’ah pernah dibolehkan pada awal Islam untuk kebutuhan dan
darurat waktu itu kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam
mengharamkannya untuk selama-lamanya hingga hari Kiamat. Beliau malah
mengharamkan dua kali, pertama pada waktu Perang Khaibar tahun 7 H, dan
yang kedua pada Fathu Makkah, tahun 8 H.
Mereka [Syi’ah sendiri] meriwayatkan bahwa Ali berkata, “Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengharamkan pada Perang Khaibar daging himar jinak dan nikah mut’ah.” (At-Tahdzif Juz II/186)
Riwayat inipun terdapat dalam sahih Bukhari. Maka semakin jelas tentang
agama mereka yang dibangun atas dasar rekayasa, ucapan mereka
bertentangan satu sama lain. Maka kami membantah kalian wahai Syi’ah !!, dengan kitab-kitab kalian sendiri.
Ini
adalah salah satu sebab yang membuat mereka berakidah taqiyah
(berbohong). Padahal perlu diketahui bahwa dalam agama Syi’ah tidak
boleh melakukan taqiyah dalam mut’ah, la taqiyyata fi al-mut’ah (tidak
ada taqiyah dalam mut’ah).
Ali, Umar dan Ibnu Abbas Berlepas Diri
Kemudian, Umar tidak pernah mengatakan, “Mut’ah halal pada zaman Nabi dan saya melarangnya!”
Tetapi mut’ah dulu halal dan kini Umar menegaskan dan menegakkan hukum
keharamannya. Yang demikian itu karena masih ada orang yang
melakukannya. Adapun dia mengisyaratkan bahwa dulu memang pernah halal,
ya, akan tetapi beberapa waktu setelah itu diharamkan. Di antara yang menguatkan lagi adalah pelarangan ‘Ali ketika menjadi khalifah.
Syi’ah
tidak memiliki bukti dari Salaf Shalih kecuali dari Ibnu Abbas
Radhiallahu ‘anhu, akan tetapi Ibnu abbas sendiri telah rujuk dan
mencabut kembali kebolehannya kembali kepada pengharamannya, ketika di
mengetahui larangan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia
(Ibnu Abbas) telah berkata : “Sesungguhnya hal ini perlu saya jelaskan
agar sebagian Syi’ah Rafidhoh tidak berhasil mengelabui sebagian kaum
Muslimin.” (Sunan Al-Baihaqi 318 100 ; muhammad Al-Ahdal, hal. 251-252)
Sebagaimana
kitab Syi’ah sendiri menyebutkan keharamannya, dan Imam Syi’ah ke-enam
[yang diangap suci dari kesalahan] telah berkata kepada sebagian
sahabatnya : “Telah aku haramkan mut’ah atas kalian berdua” (Al-Furu’ min Al-Kafi 2 48).
Adapun dalil mereka dengan sebagian hadits-hadits yang ada pada kitab Shahih Ahlussunnah maka hadits-hadits tersebut telah dinasakh
[dihapus hukumnya]. Hal ini menjadi jelas dari hadits-hadits yang
datang mengharamkan setelahnya. Di antara yang menunjukkan mut’ah bukan
nikah adalah mereka [syi’ah] memandang bahwa mut’ah boleh dengan berapa
saja sekalipun seribu wanita. Ini adalah menyalahi Syari’at yang hanya
membolehkan [paling banyak] empat wanita.
Syaikh Mamduh Farhan Al-Buhairi “Asy-Syi’ah minhum ‘alaihim”
[Al-Hujjah Risalah No: 48 / Thn IV / Shafar / 1423H]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar