Label
Berita
(19)
Biografi Islam
(17)
Dunia Muslim
(27)
Info Pejuang
(7)
Kisah Teladan Rosululloh SAW
(8)
Konspirasi
(13)
Palestina
(15)
Tampilkan postingan dengan label Dunia Muslim. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dunia Muslim. Tampilkan semua postingan
Minggu, 09 Oktober 2011
Andaikan suamiku seperti mereka...
Ketika aku keluar rumah sambil bendiri melihat foto-foto para buronan mujahidin yang mulia dan yang menjaga keutuhan agama dan kaum muslimin, maka aku sangat berharap bahwa seberkas kertas itu tertera foto suamiku dan tertulis namanya supaya kami mendapatkan kemuliaan pada seluruh umur kami, dan hal itu bukan hanya dia saja.
Juga supaya anaknya bahagia ketika melihat bapaknya menjadi salah satu dari para pahlawan itu dan bangga dengan keberaniannya ketika diwaktu yang sama tetangga mereka dan bapak teman-teman mereka bersikap diam tenang dan tidak bergerak untuk memperjuangkan umat!!
Bahkan supaya Alloh dan orang-orang beriman mencintai bapak mereka dan supaya Alloh menerima amal mereka, karena barang siapa yang ridho kepada Alloh maka dialah yang akan diridhoi oleh Alloh, dan manusia juga akan meridhoinya, bahkan Alloh akan mencintainya, dan barangsiapa yang dicintai oleh Alloh maka dia akan dicintai oleh orang yang berada di langit dan di bumi.
Ketika para Ummahatul Mukminin yang suci mencintai Rosululloh SAW…
Maka mereka mencintainya karena beliau adalah seorang pemberani yang Jibril turun dengan membawa wahyu sedangkan beliau waktu itu beribadah di sebuah gua yang gelap gulita.
Mereka mencintai beliau karena beliau seorang pemberani di dalam menyampaikan risalah Robbnya dan berkata kepada kaum Quroisy:
لقد جئتكم بالذبح
“Sungguh aku datang kepada kalian dengan penyembelihan”.
Mereka mencintainya karena beliau seorang pemberani yang melindungi sahabat-sahabatnya dengan punggungnya ketika siksaan semakin bertambah berat.
Maka beliau dicintai oleh Alloh dan seluruh kaum muslimin….
Dan ketika istri Ash Shiddiq mencintai suaminya….
Dia mencintainya karena dia adalah seorang pemberani, dia adalah orang yang pertama kali beriman kepada Alloh SWT, mencintainya karena beliau seorang pemberani, beliau orang yang pertama kali membenarkan Rosululloh SAW, mencintainya karena dia berani memerangi orang-orang murtad dengan penuh kegagahan sehingga Alloh menjaga agamaNya melalui tangan beliau.
Maka dia dicintai oleh Alloh dan seluruh kaum muslimin….
Dan ketika istri Umar mencintai Umar bin Khottob ra. mencintainya karena dia adalah seorang pemberani, beliau orang yang pertama kali memisahkan yang haq dari yang bathil, mencintainya karena dia seorang pemberani yang dimana jika dia berjalan di suatu lembah sedangkan syetan berjalan di lembah yang lain untuk menghindarinya, mencintainya karena dia pemberani yang mengatakan suara kebenaran dengan terang-terangan sebagai balasan terhadap Abu Sufyan ketika perang Uhud.
Maka dia dicintai oleh Alloh dan seluruh kaum muslimin….
Mereka itulah orang-orang yang dicintai oleh Alloh dan dicintai oleh umat Islam, mereka dan orang-orang yang berjalan diatas manhaj mereka, membela apa yang mereka bela, mempertahankan sebagaiman mereka mempertahankan, menolong orang-orang yang mereka tolong. Mereka adalah para pemimpin umat ini, para pemberani umat ini seperti Saifulloh Al Maslul (yang selalu terhunus), Abu Dujanah, Al Barro’, Malik, Abdulloh bin Zubair, Said bin Jubair, Ahmad bin Taimiyyah, Sholahuddin, Umar Mukhtar, Marwan Hadid, Kholid Al Islambuliy, Yahya Ayyasy, Saamir As Suwailim (Khottob), Yusuf Al Uyairiy, Turki Ad Dandaniy dan Sulthon Al Qohthoniy semoga Alloh meridhoi mereka semuanya.
Mereka itulah orang-orang yang berhak untuk dicintai….
Mereka itulah orang-orang yang berhak untuk disebut orang-orang yang menepati janji….
Mereka itulah orang-orang yang mulia….
Setiap singa dari mereka berhak untuk kita cintai, karena dia dicintai oleh Alloh dan RosulNya, juga dicintai ummat dan dibelanya….
Setiap singa dari mereka berhak disebut orang yang menepati janji karena dia memiliki perjanjian dengan Alloh, dan memiliki perjanjian dengan Rosululloh SAW dengan mengikuti petunjuknya, memiliki perjanjian dengan umatNya ketika dia menjadikan kepala umat tegak dengan mempertahankan agamanya….
Setiap singa dari mereka berhak untuk mendapatkan kemuliaannya karena dia telah menjaga kemuliaan dan kehormatan umat, maka seorang pemberani dan mulia itu jika dicintai, dia memenuhi setiap perjanjiannya dengan mengorbankan jiwanya yang suci, sehingga selain dari itu semua, dia adalah seorang penakut dan pengecut, tidak berhak untuk mendapatkan sesuatupun.
Shoutul Jihad Edisi 14 Muharrom 1424 H.
Khaulah Binti Tsa’labah (Wanita Yang Aduannya Didengar Allah Dari Langit Ketujuh)
Beliau adalah Khaulah binti Tsa`labah bin Ashram bin Fahar bin Tsa`labah Ghanam bin ‘Auf. Beliau tumbuh sebagai wanita yang fasih dan pandai. Beliau dinikahi oleh Aus bin Shamit bin Qais, saudara dari Ubadah bin Shamit r.a yang beliau menyertai perang Badar dan perang Uhud dan mengikuti seluruh perperangan yang disertai Rasulullah saw. Dengan Aus inilah beliau melahirkan anak laki-laki yang bernama Rabi`.
Khaulah binti Tsa`labah mendapati suaminya Aus bin Shamit dalam masalah yang membuat Aus marah, dia berkata, “Bagiku engkau ini seperti punggung ibuku.” Kemudian Aus keluar setelah mengatakan kalimat tersebut dan duduk bersama orang-orang beberapa lama lalu dia masuk dan menginginkan Khaulah. Akan tetapi kesadaran hati dan kehalusan perasaan Khaulah membuatnya menolak hingga jelas hukum Allah terhadap kejadian yang baru pertama kali terjadi dalam sejarah Islam. Khaulah berkata, “Tidak…jangan! Demi yang jiwa Khaulah berada di tangan-Nya, engkau tidak boleh menjamahku karena engkau telah mengatakan sesuatu yang telah engkau ucapkankan terhadapku sehingga Allah dan Rasul-Nya lah yang memutuskan hukum tentang peristiwa yang menimpa kita.
Kemudian Khaulah keluar menemui Rasulullah saw, lalu dia duduk di hadapan beliau dan menceritakan peristiwa yang menimpa dirinya dengan suaminya. Keperluannya adalah untuk meminta fatwa dan berdialog dengan nabi tentang urusan tersebut. Rasulullah saw bersabda, “Kami belum pernah mendapatkan perintah berkenaan urusanmu tersebut… aku tidak melihat melainkan engkau sudah haram baginya.”
Wanita mukminah ini mengulangi perkatannya dan menjelaskan kepada Rasulullah saw apa yang menimpa dirinya dan anaknya jika dia harus cerai dengan suaminya, namun rasulullah saw tetap menjawab, “Aku tidak melihat melainkan engkau telah haram baginya”.
Sesudah itu wanita mukminah ini senantiasa mengangkat kedua tangannya ke langit sedangkan di hatinya tersimpan kesedihan dan kesusahan. Pada kedua matanya nampak meneteskan air mata dan semacam ada penyesalan, maka beliau menghadap kepada Yang tiada akan rugi siapapun yang berdoa kepada-Nya. Beliau berdo’a, “Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu tentang peristiwa yang menimpa diriku”.
Alangkah bagusnya seorang wanita mukminah semacam Khaulah, beliau berdiri di hadapan Rasulullah saw dan berdialog untuk meminta fatwa, adapun istighatsah dan mengadu tidak ditujukan melainkan untuk Allah Ta`ala. Ini adalah bukti kejernihan iman dan tauhidnya yang telah dipelajari oleh para sahabat kepada Rasulullah saw.
Tiada henti-hentinya wanita ini berdo`a sehingga suatu ketika Rasulullah saw pingsan sebagaimana biasanya beliau pingsan tatkala menerima wahyu. Kemudian setelah Rasulullah saw sadar kembali, beliau bersabda, “Wahai Khaulah, sungguh Allah telah menurunkan al-Qur`an tentang ditimu dan suamimu kemudian beliau membaca firman-Nya (artinya), “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkatan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan [halnya] kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat,…sampai firman Allah: “dan bagi oranr-orang kafir ada siksaan yang pedih.”(Al-Mujadalah:1-4)
Kemudian Rasulullah saw menjelaskan kepada Khaulah tentang kafarat (tebusan) Zhihar:
Nabi : Perintahkan kepadanya (suami Khansa`) untuk memerdekan seorang budak
Khaulah : Ya Rasulullah dia tidak memiliki seorang budak yang bisa dia merdekakan.
Nabi : Jika demikian perintahkan kepadanya untuk shaum dua bulan berturut-turut
Khaulah : Demi Allah dia adalah laki-laki yang tidak kuat melakukan shaum.
Nabi : Perintahkan kepadanya memberi makan dari kurma sebanyak 60 orang miskin
Khaulah : Demi Allah ya Rasulullah dia tidak memilikinya.
Nabi : Aku bantu dengan separuhnya
Khaulah : Aku bantu separuhnya yang lain wahai Rasulullah.
Nabi : Engkau benar dan baik maka pergilah dan sedekahkanlah kurma itu sebagai kafarat baginya, kemudian bergaulah dengan anak pamanmu itu secara baik.” Maka Khaulah pun melaksanakannya.
Inilah kisah seorang wanita yang mengajukan gugatan kepada pemimpin anak Adam a.s yang mengandung banyak pelajaran di dalamnya dan banyak hal yang menjadikan seorang wanita yang mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dengan bangga dan perasaan mulia dan besar perhatian Islam terhadapnya.
Ummul mukminin Aisyah ra berkata tentang hal ini, “Segala puji bagi Allah yang Maha luas pendengaran-Nya terhadap semua suara, telah datang seorang wanita yang mengajukan gugatan kepada Rasulullah saw, dia berbincang-bincang dengan Rasulullah saw sementara aku berada di samping rumah dan tidak mendengar apa yang dia katakan, maka kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkatan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya dan mengadukan (halnya) kepada Allah…” (Al-Mujadalah: 1)
Inilah wanita mukminah yang dididik oleh Islam yang menghentikan Khalifah Umar bin Khaththab r.a saat berjalan untuk memberikan wejangan dan nasehat kepadanya. Beliau berkata, “Wahai Umar aku telah mengenalmu sejak namamu dahulu masih Umair (Umar kecil) tatkala engkau berada di pasar Ukazh engkau mengembala kambing dengan tongkatmu, kemudian berlalulah hari demi hari sehingga memiliki nama Amirul Mukminin, maka bertakwalah kepada Allah perihal rakyatmu, ketahuilah barangsiapa yang takut akan siksa Allah maka yang jauh akan menjadi dekat dengannya dan barangsiapa yang takut mati maka dia kan takut kehilangan dan barangsiapa yang yakin akan adanya hisab maka dia takut terhadap Adzab Allah.” Beliau katakan hal itu sementara Umar Amirul Mukminin berdiri sambil menundukkan kepalanya dan mendengar perkataannya.
Akan tetapi al-Jarud al-Abdi yang menyertai Umar bin Khaththab tidak tahan mengatakan kepada Khaulah, “Engkau telah berbicara banyak kepada Amirul Mukminin wahai wanita.!” Umar kemudian menegurnya, “Biarkan dia…tahukah kamu siapakah dia? Beliau adalah Khaulah yang Allah mendengarkan perkataannya dari langit yang ketujuh, maka Umar lebih berhak untuk mendengarkan perkataannya. “
Dalam riwayat lain Umar bin Khaththab berkata, “Demi Allah seandainya beliau tidak menyudahi nasehatnya kepadaku hingga malam hari maka aku tidak akan menyudahinya sehingga beliau selesaikan apa yang dia kehendaki, kecuali jika telah datang waktu shalat maka aku akan mengerjakan shalat kemudian kembali mendengarkannya sehingga selesai keperluannya.”
(SUMBER: buku Mengenal Shahabiah Nabi SAW., karya Mahmud Mahdi al-Istanbuly dan Musthafa Abu an-Nashar asy-Syalaby, h.242-246, penerbit AT-TIBYAN)
*gambar Ilustrasi
Sabtu, 08 Oktober 2011
Umm 'Umara: Perisai Rasulullah SAW Di Uhud
Oleh Hamzah Qassim
Arrahmah.Com Stories – Umm ‘Umara telah dirahmati dengan pelbagai kehormatan, antaranya adalah kehadiran beliau di Uhud, al-Hudaibiyyah, Khaibar, Hunain dan Peperangan Yamama. Namun peranan beliau yang paling mulia adalah ketika Peperangan Uhud. Umm ‘Umara telah menyertai peperangan tersebut bersama suaminya, Ghaziya, berserta dua orang anak lelaki beliau. Tugas yang dipertanggungjawabkan ke atas beliau adalah untuk memberi air kepada para Mujahid yang cedera. Akan tetapi Allah SWT telah menetapkan satu peranan yang lebih besar dan mulia untuk beliau.
Maka beliau pun mengatur langkah bersama-sama dengan keluarga beliau dengan sebuah bekas kulit buat mengisi air. Mereka tiba di medan perang pada awal pagi hari. Tentera Islam, ketika itu, sedang menguasai peperangan dan beliau telah pergi melihat keadaan Rasulullah SAW. Pada masa yang sama sebilangan Tentera Islam telah membuat satu kesilapan yang teramat besar – melihatkan tentera Quraish berundur, mereka mula berkejaran mendapatkan harta-benda rampasan perang, melanggar arahan Rasulullah SAW supaya tetap di posisi mereka di atas bukit. Khalib bin Walid, (yang ketika itu belum lagi memeluk Islam), apabila melihat benteng pertahanan yang telah terbuka itu lantas mengepalai serangan-balas ke atas Tentera Islam. Penguasaan peperangan beralih kepada pihak Quraish. Dalam suasana kelam-kabut itu, ramai dari kalangan Tentera Islam panik dan berundur, meninggalkan Rasulullah SAW bersama-sama sekumpulan kecil para Sahabat RA. Di kalangan mereka ini termasuklah Umm ‘Umara.
Melihatkan ramai dari kalangan Tentera Islam yang berundur, Umm ‘Umara lantas berlari ke arah Rasulullah SAW dan mengangkat senjata demi mempertahankan baginda SAW, bersama-sama dengan suami dan kedua anak lelakinya. Rasulullah SAW menyedari yang Umm ‘Umara tidak mempunyai perisai lantas baginda SAW mengarahkan salah seorang daripada mereka yang sedang berundur supaya memberikan perisainya kepada Umm ‘Umara yang sedang bertarung. Setelah mendapat perisai tersebut, Umm ‘Umara mempertahankan Rasulullah SAW menggunakannya bersama-sama dengan busur, anak panah dan juga pedang. Umm ‘Umara diserang oleh tentera berkuda tetapi beliau tidak sekalipun gentar atau berasa gerun. Beliau kemudiannya telah berkata, “Sekiranya mereka itu tidak berkuda seperti kami, nescaya telah kami hancurkan mereka, insha-Allah.”
Abdullah ibn Zayed, anak lelaki beliau, telah mengalami kecederaan ketika peperaang tersebut. Lukanya itu berdarah dengan banyak sekali. Ibunya berlari kepadanya dan membalut lukanya itu. Kemudian Umm ‘Umara memerintahkan anak lelakinya itu, “Maralah dan perangi mereka, anakku!” Rasulullah SAW mengagumi semangat pengorbanan beliau dan telah memuji beliau, “Siapakah yang boleh menanggung apa yang kamu mampu tanggung, Umm ‘Umara!”
Tiba-tiba lelaki yang telah mencederakan anak lelakinya mara dan Rasulullah SAW berkata kepada beliau bahawa inilah lelaki yang mencederakan anaknya. Umm ‘Umara dengan berani mencabar lelaki tersebut, yang menurut anak Umm ‘Umara sendiri, adalah seperti perdu pokok yang besar. Umm ‘Umara mencederakan kaki musuhnya itu, menjatuhkannya sehingga berlutut. Rasulullah SAW tersenyum sehingga menampakkan gigi baginda SAW dan berkata, “Kamu telah membalasnya, Umm ‘Umara!” Setelah lelaki tersebut ditewaskan, Rasulullah SAW kemudiannya berkata “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kamu kemenangan dan menggembirakan kamu atas musuh kamu dan membolehkan kamu menuntut bela.”
Pada satu ketika, Rasulullah SAW telah keseorangan. Melihat peluang keemasan itu, pihak musuh, Ibn Qumay’a segera menyerang Rasulullah SAW sambil menjerit “Tunjukkan Muhammad padaku! Aku takkan selamat sekiranya dia diselamatkan!”. Lantas Mus’ab ibn ‘Umayr, bersama-sama dengan beberapa orang sahabat yang lain, bergegas mempertahankan Rasulullah SAW. Umm ‘Umara yang turut bersama-sama dengan mereka terus menetak musuh Allah itu, walaupun dia memakai dua lapis baju besi. Ibn Qumay’a berjaya menetakkan bahagian leher Umm ‘Umara, meninggalkan luka yang teruk. Rasulullah SAW terus memanggil anak lelaki Umm ‘Umara, mengarahkannya membalut luka ibunya sambil mendoakan kerahmatan dan kesejahteraan ke atas mereka dan menyatakan kemuliaan mereka. Umm ‘Umara, bila menyedari yang Rasulullah SAW menyukai kesungguhan dan keberanian beliau, lantas meminta Rasulullah SAW supaya berdoa agar mereka dijadikan Allah di kalangan sahabat-sahabat Rasulullah SAW di syurga nanti. Selepas Rasulullah SAW berdoa, Umm ‘Umara lantas berkata, “Aku tidak pedulikan apa sahaja yang menimpaku di dunia ini!”
Pada hari tersebut, Umm ‘Umara menerima tiga belas luka dan luka di lehernya terpaksa dirawat selama setahun. Beliau kemudiannya juga menyertai Peperangan Yamama, di mana beliau menerima sebelas luka dan kehilangan tangan.
Keberanian Umm ‘Umara menyebabkan semua para Sahabat RA mennghormati beliau, terutamanya para Khalifah yang akan menziarahi beliau dan sentiasa mengambil berat tentang keadaan beliau. Umar ibn Khattab RA telah menerima kain-kain sutera yang sangat bagus buatannya. Salah seorang yang berada di situ berkata bahawa kain tersebut sangat mahal dan Umar RA patut memberikannya kepada isteri Abdullah ibn Umar, Safiyya bint Abu ‘Ubayd. Umar RA walaubagaimanapun tidak mahu memberikan kain yang sedemikian kepada menantunya. “Ini adalah sesuatu yang tidak akan kuberikan kepada ibn Umar. Aku akan berikannya kepada seseorang yang lebih berhak keatasnya – Umm ‘Umara Nusayba bint Ka’b.” Umar RA kemudian menceritakan bagaimana ketika Peperangan Uhud, beliau mendengar Rasulullah berkata bahawa apabila baginda SAW melihat ke kiri mahupun ke kanan, baginda nampak Umm ‘Umara sedang bertarung di hadapan baginda SAW.
Inilah kehidupan Umm ‘Umara, pejuang yang tetap berdiri apabila ramai yang berundur, yang mengarahkan anaknya yang cedera parah kembali menyertai peperangan yang sengit, dan yang bersedia menggadaikan nyawanya demi menyelamatkan Rasulullah SAW. Sebagai balasan, beliau menerima doa agar dijadikan di kalangan sahabat Rasulullah SAW di syurga.
Moga Allah SWT merahmati para Muslimah kita dengan keberanian, semangat pengorbanan dan istiqamah yang sedemikian.
Para jagoan wanita di zaman Rasulullah SAW
Muslimah & Mujahidah (Arrahmah.com) – Jika kita membaca sejarah para sahabat perempuan di zaman Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam, kita akan banyak menemukan kekaguman-kekaguman yang luar biasa. Mereka bukan hanya berilmu, berakhlaq, pandai membaca Al Qur’an, tapi juga jago pedang, berkuda dan memanah, dan tidak sedikit yang juga menjadi “dokter” yang pintar mengobati para sahabat yang terluka di medan perang. Bahkan, ada di antara mereka yang terpotong tangannya karena melindungi Rasulullah! Subhanallah… Simak kisah mereka..
Nusaibah si Jago Pedang
Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam yang mulia berdiri di puncak bukit Uhud dan memandang musuh yang merangsek maju mengarah pada dirinya. Beliau memandang ke sebelah kanan dan tampak olehnya seorang perempuan mengayun-ayunkan pedangnya dengan gagah perkasa melindungi dirinya. Beliau memandang ke kiri dan sekali lagi beliau melihat wanita tersebut melakukan hal yang sama – menghadang bahaya demi melindungi sang pemimpin orang-orang beriman.
Kata Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam kemudian, “Tidaklah aku melihat ke kanan dan ke kiri pada pertempuran Uhud kecuali aku melihat Nusaibah binti Ka’ab berperang membelaku.”
Memang Nusaibah binti Ka’ab Ansyariyah demikian cinta dan setianya kepada Rasulullah sehingga begitu melihat junjungannya itu terancam bahaya, dia maju mengibas-ngibaskan pedangnya dengan perkasa sehingga dikenal dengan sebutan Ummu Umarah, adalah pahlawan wanita Islam yang mempertaruhkan jiwa dan raga demi Islam termasuk ikut dalam perang Yamamah di bawah pimpinan Panglima Khalid bin Walid sampai terpotong tangannya. Ummu Umarah juga bersama Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam dalam menunaikan Baitur Ridhwan, yaitu suatu janji setia untuk sanggup mati syahid di jalan Allah.
Nusaibah adalah satu dari dua perempuan yang bergabung dengan 70 orang lelaki Ansar yang berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam. Dalam baiat Aqabah yang kedua itu ia ditemani suaminya Zaid bin Ahsim dan dua orang puteranya: Hubaib dan Abdullah. Wanita yang seorang lagi adalah saudara Nusaibah sendiri. Pada saat baiat itu Rasulullah menasihati mereka, “Jangan mengalirkan darah denga sia-sia.”
Dalam perang Uhud, Nusaibah membawa tempat air dan mengikuti suami serta kedua orang anaknya ke medan perang. Pada saat itu Nusaibah menyaksikan betapa pasukan Muslimin mulai kocar-kacir dan musuh merangsek maju sementara Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam berdiri tanpa perisai. Seorang Muslim berlari mundur sambil membawa perisainya, maka Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam berseru kepadanya, “berikan perisaimu kepada yang berperang.” Lelaki itu melemparkan perisainya yang lalu dipungut oleh Nusaibah untuk melindungi Nabi.
Ummu Umarah sendiri menuturkan pengalamannya pada Perang Uhud, sebagaimana berikut: “…saya pergi ke Uhud dan melihat apa yang dilakukan orang. Pada waktu itu saya membawa tempat air. Kemudian saya sampai kepada Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam yang berada di tengah-tengah para sahabat. Ketika kaum muslimin mengalami kekalahan, saya melindungi Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam, kemudian ikut serta di dalam medan pertempuran. Saya berusaha melindungi Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam dengan pedang, saya juga menggunakan panah sehingga akhirnya saya terluka.”
Ketika ditanya tentang 12 luka ditubuhnya, Nusaibah menjawab, “Ibnu Qumaiah datang ingin menyerang Rasulullah ketika para sahabat sedang meninggalkan baginda. Lalu (Ibnu Qumaiah) berkata, ‘mana Muhammad? Aku tidak akan selamat selagi dia masih hidup.’ Lalu Mushab bin Umair dengan beberapa orang sahabat termasuk saya menghadapinya. Kemudian Ibny Qumaiah memukulku.”
Rasulullah juga melihat luka di belakang telinga Nusaibah, lalu berseru kepada anaknya, “Ibumu, ibumu…balutlah lukanya! Ya Allah, jadikanlah mereka sahabatku di surge!” Mendengar itu, Nusaibah berkata kepada anaknya, “Aku tidak perduli lagi apa yang menimpaku di dunia ini.”
Subhanallah, sungguh setianya beliau kepada baginda Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam.
Khaulah binti Azur (Ksatria Berkuda Hitam)
Siapa Ksatria Berkuda Hitam ini? Itulah Khaulah binti Azur. Dia seorang muslimah yang kuat jiwa dan raga. Sosok tubuhnya tinggi langsing dan tegap. Sejak kecil Khaulah suka dan pandai bermain pedang dan tombak, dan terus berlatih sampai tiba waktunya menggunakan keterampilannya itu untuk membela Islam bersama para mujahidah lainnya.
Diriwayatkan betapa dalam salah satu peperangan melawan pasukan kafir Romawi di bawah kepemimpinan Panglima Khalid bin Walid, tiba-tiba saja muncul seorang penunggang kuda berbalut pakaian serba hitam yang dengan tangkas memacu kudanya ke tengah-tengah medan pertempuran. Seperti singa lapar yang siap menerkam, sosok berkuda itu mengibas-ngibaskan pedangnya dan dalam waktu singkat menumbangkan tiga orang musuh.
Panglima Khalid bin Walid serta seluruh pasukannya tercengang melihat ketangkasan sosok berbaju hitam itu. Mereka bertanya-tanya siapakah pejuang tersebut yang tertutup rapat seluruh tubuhnya dan hanya terlihat kedua matanya saja itu. Semangat jihad pasukan Muslimin pun terbakar kembali begitu mengetahui bahwa the Black Rider, di penunggang kuda berbaju hitam itu adalah seorang wanita!
Keberanian Khaulah teruji ketika dia dan beberapa mujahidah tertawan musuh dalam peperangan Sahura. Mereka dikurung dan dikawal ketat selama beberapa hari. Walaupun agak mustahil untuk melepaskan diri, namun Khaulah tidak mau menyerah dan terus menyemangati sahabat-sahabatnya. Katanya, “Kalian yang berjuang di jalan Allah, apakah kalian mau menjadi tukang pijit orang-orang Romawi? Mau menjadi budak orang-orang kafir? Dimana harga diri kalian sebagai pejuang yang ingin mendapatkan surga Allah? Dimana kehormatan kalian sebagai Muslimah? Lebih baik kita mati daripada menjadi budak orang-orang Romawi!”
Demikianlah Khaulah terus membakar semangat para Muslimah sampai mereka pun bulat tekad melawan tentara musuh yang mengawal mereka. Rela mereka mati syahid jika gagal melarikan diri. “Janganlah saudari sekali-kali gentar dan takut. Patahkan tombak mereka, hancurkan pedang mereka, perbanyak takbir serta kuatkan hati. Insya Allah pertolongan Allah sudah dekat.
Dikisahkan bahwa akhirnya, karena keyakinan mereka, Khaulah dan kawan-kawannya berhasil melarikan diri dari kurungan musuh! Subhanallah…
Nailah si Cantik yang Pemberani
Nailah binti al-Farafishah adalah istri Khalifah Ustman bin Affan. Dia terkenal cantik dan pandai. Bahkan suaminya sendiri memujinya begini: “Saya tidak menemui seorang wanita yang lebih sempurna akalnya dari dirinya. Saya tidak segan apabila ia mengalahkan akalku.” Subhanallah!
Mereka menikah di Madinah al-Munawwarah dan sejak itu Ustman kagum pada tutur kata dan keahlian Nailah di bidang sastra. Karena cintanya, Ustman paling senang memberikan hadiah untuk istrinya itu. Mereka punya satu orang anak perempuan, Maryan binti Ustman.
Ketika terjadi fitnah yang memecah belah umat Islam pada tahun 35 Hijriyah, Nailah ikut mengangkat pedang untuk membela suaminya. Seorang musuh menerobos masuk dan menyerang dengan pedang pada saat Ustman sedang memegang mushaf atau Al Qur’an. Tetesan darahnya jatuh pada ayat 137 surah Al Baqarah yang berbunyi, “Maka Allah akan memelihara engkau dari mereka.”
Seseorang pemberontak lain masuk dengan pedang terhunus. Nailah berhasil merebut pedang itu namun si musuh kembali merampas senjata itu, dan menyebabkan jari-jari Nailah terputus Ustman syahid karena sabetan pedang pemberontak. Air mata Nailah tumpah ruah saat memangku jenazah sang suami. Ketika kemudian ada musuh yang dengan penuh kebencian menampari wajah Ustman yang sudah wafat itu, Nailah lalu berdoa, “Semoga Allah menjadikan tanganmu kering, membutakan matamu dan tidak ada ampunan atas dosa-dosamu!”
Dikisahkan dalam sejarah bahwa si penampar itu keluar dari rumah Ustman dalam keadaan tangannya menjadi kering dan matanya buta!
Sesudah Ustman wafat, Nailah berkabung selama 4 bulan 10 hari. Ia tak berdandan dan berhias dan tidak meninggalkan rumah Ustman ke rumah ayahnya.
Nailah memandang kesetiaan terhadap suaminya sepeninggalnya lebih berpengaruh dan lebih besar dari apa yang dilihatnya terhadap ayahnya, saudara perempuannya, ibunya dan juga kerabatnya. Ia selalu mendahulukan keutamaannya, mengingat kebaikannya di setiap tempat dan kesempatan. Ketika Ustman terbunuh, ia mengatakan, “Sungguh kalian telah membunuhnya padahal ia telah menghidupkan malam dengan Al Qur’an dalam rangkaian rakaat.”
Subhanallah yah, ternyata umat muslim juga memiliki jagoan wanita yang memang nyata adanya, semoga kita, para muslimah dapat mengambil teladan dari mereka, aamiin.
Sumber: • Al-Ekhlaas Islamic Page
http://www.arrahmah.com
filter your mind, get the truth
Bolehkah Meruqyah Orang Kafir Yang Sakit?
Bolehkah meruqyah orang kafir yang sakit untuk tujuan dakwah? Jika ruqyah itu membawa hasil yang baik barangkali si kafir itu akan berpikir masuk Islam? Biasanya dengan cara itu dapat disampaikan kepada si kafir tersebut bahwa sebenarnya tidak ada kekuatan pada ruqyah ini, namun kesembuhan hanya datang dengan kehendak Allah Ta’ala. Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.
Jawaban:
Alhamdulillah, tidak ada faktor yang melarang perbuatan tersebut. Allah telah menjadikan Al-Qur’an Al-Karim sebagai obat segala penyakit, sebagaimana halnya madu, minyak zaitun dan lainnya. Perkara-perkara tersebut merupakan faktor-faktor penyembuh, sementara yang menyembuhkan adalah Allah. Boleh saja dilakukan ruqyah terhadap orang kafir tersebut, apalagi Anda berusaha menariknya ke dalam Islam.
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan keterangan yang membolehkan meruqyah orang kafir.
Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu ia berkata:
“Sesungguhnya beberapa orang dari kalangan Sahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam sedang berada dalam perjalanan. Mereka pergi ke salah satu kampung Arab dan mereka berharap agar boleh diterima sebagai tamu penduduk kampung tersebut (tampaknya penduduk kampung itu adalah orang-orang kafir atau orang-orang bakhil dan brengsek sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam buku Madarijus Salikin). Namun ternyata penduduk kampung itu tidak mau menerima mereka. Kemudian ketua atau penghulu kampung kami disengat binatang berbisa. Mereka sudah mengusahakan berbagai macam pengobatan namun tidak mujarab. Salah seorang penduduk kampung itu berkata: “Bagaimana jika kalian temui rombongan tadi, barangkali mereka memiliki sesuatu yang dapat menyembuhkan!?” Penduduk kampung itupun datang menemui mereka lalu berkata: “Wahai rombongan yang mulia, kepala kampung kami tersengat binatang berbisa, kami telah mengusahakan berbagai macam pengobatan namun tidak manjur, apakah salah seorang dari kalian ada yang memiliki sesuatu untuk menyembuhkannya?” Salah seorang dari Sahabat menjawab: “Demi Allah saya mampu meruqyahnya, namun kami tadi meminta kalian menerima kami sebagai tamu namun kalian menolaknya, kami tidak akan melakukannya hingga kalian memberi sesuatu imbalan kepada kami!”. Mereka pun sepakat memberi beberapa ekor kambing. Lalu iapun menemui ketua kampung tersebut dan menjampinya dengan membacakan surat Al-Fatihah. Kemudian ketua kampung tersebut sembuh dapat berjalan seperti sedia kala tanpa terasa sakit lagi. Merekapun diberi beberapa ekor kambing sesuai dengan perjanjian. Salah seorang anggota rombongan berkata: “Bagilah kambing-kambing itu!” sahabat yang meruqyah tadi menimpali: “Jangan bagikan dulu sebelum kita laporkan kepada Rasulullah, kita ceritakan apa yang telah terjadi dan kita menunggu apa perintah beliau!” merekapun pulang menemui Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan menceritakan pengalaman tersebut. Setelah mendengar kisah mereka itu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Tahukah engkau, bahwa Al-Fatihah itu memang merupakan ruqyah.” Kemudian baginda bersabda lagi: “Tindakan kalian benar, bagilah pemberian mereka dan pastikan aku mendapatkan bagian bersama kalian.” (H.R Al-Bukhari no:2276 dan Muslim no:2201)
Berikut ini akan kami bawakan cuplikan syarah hadits ini oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani serta beberapa faidahnya:
Perkataan: “mereka (para sahabat) berharap agar boleh diterima sebagai tamu penduduk kampung tersebut” yaitu meminta agar diterima sebagai tamu. Dalam riwayat Al-A’masy yang dikeluarkan selain imam Tirmidzi disebutkan: “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mengutus tiga puluh orang. Lalu kami (rombongan tersebut) singgah di suatu kaum pada malam hari. Kami meminta agar mereka menerima kami sebagai tamu. Kata Al-Qira maknanya adalah tetamu.”
Perkataan: “Disengat binatang berbiasa” yakni kalajengking.
Perkataan: “Mereka telah berusaha menyembuhkan kepala kampung itu dengan segala cara.” Yaitu cara-cara pengobatan yang biasa mereka lakukan bila seseorang tersengat kalajengking. Demikianlah penjelasan mayoritaas ulama, yakni mereka telah meminta kepada setiap orang untuk menyembuhkannya.
Perkataan: “Penduduk kampung itupun datang menemui mereka” AlBazzar menambahkan: “Penduduk kampung itu berkata: “Telah sampai berita kepada kami bahwa sahabat kalian (Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ) telah datang dengan membawa cahaya dan penyembuhan.” Para sahabat menjawab: “Benar!”
Perkataan: “Apakah kalian memiliki sesuatu untuk menyembuhkannya?” Dalam riwayatnya Abu Dawud menambahkan: “Penyembuhan yang dapat berguna bagi kepala kampung kami?”
Peraktaan: “Sebagian mereka berkata” Dalam riwayat Abu Dawud berbunyi: “Salah satu anggota rombonga berkata: Benar, demi Allah saya bisa membacakan ruqyah kepadanya.” Yang berkata demikian adalah Abu Sa’id Al-Khudri perawi hadits ini. Lafalnya: Aku (Abu Sa’id) berkata: “Benar, aku bisa meruqyahnya. Namun aku tidak akan melakukannya sehingga kalian memberikan beberapa ekor kambing.”
Dalam riwayat Sulaiman bin Qittah berbunyi: “Akupun menemuinya dan meruqyahnya dengan membacakan surat Al-Fatihah.”
Perkataan: “Merekapun sepakat” yakni mereka menyetujui.
Perkataan: “Memberikan beberapa ekor kambing” dalam riwayat Al-A’masy disebutkan: “Kami akan memberi kalian tiga puluh ekor kambing.”
Perkataan: “Maka iapun maju dan menyemburkan” At-tafl adalah semburan yang disertai dengan sedikit ludah.
Ibnu Abi Hamzah berkata: semburan disertai ludah itu dilakukan setelah membaca ayat Al-Qur’an agar mendapat keberkahan bacaan Al-Qur’an pada anggota tubuh yang dikenai oleh semburan ludah tadi. Karena ludah yang disemburkan tadi memiliki berkah.
Perkataan: “Iapun membacakan surat Al-Fatihah” dalam riwayat Syu’bah: “Membacakan Fatihatul Kitab. Dalam riwayat Al-A’masy disebutkan: Surat Al-Fatihah itu dibacakannya sebanyak tujuh kali.”
Perkataan: “Seolah-olah ia (kepala kamupung) kembali segar” makna nasyatha adalah bangkit dengan segera.
Perkataan: “dari tali kekang” ‘Iqal adalah tali yang diikatkan untuk mengekang binatang ternak.
Perkataan: “Seakan-akan tidak terasa sakit” yaitu seakan-akan tidak berpenyakit. Kadang kala penyakit disebutkan juga al-qalabah (berbolak-balik), karena orang yang sakit akan berguling-guling bolak-balik untuk mengetahui tempat yang sakit.
Sabda nabi: “Tahukah engkau, bahwa Al-Fatihah itu memang merupakan ruqyah.” Ad-Dawudi berkata: “Maknanya adalah “Tahukah kamu?” Dalam riwayat Mu’abbad bin Sirrin disebutkan: “Tahukah ia?” kalimat ini biasa digunakan saat takjub kepada sesuatu dan digunakan juga untuk membesarkan sesuatu perkara. Makna kedua inilah yang cocok di sini. Dalam riwayatnya Syu’bah menambahkan “Beliau sama sekali tidak menyebutkan larangan” yaitu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalamtidak melarang hal itu. Sulaiman bin Qittah menambahkan dalam riwayatnya setelah sabda beliau: “Tahukah engkau bahwa Al-Fatihah itu adalah ruqyah” aku berkata: “Lalu meresaplah sesuatu ke dalam lubuk hatiku” yakni ilham.
Sabda nabi: “Pastikan aku mendapatkan bagian bersama kalian”
Yakni berikanlah aku bagian daripadanya. Sepertinya beliau ingin menegaskan kebenaran tindakan mereka.
Hadist ini merupakan dalil bolehnya meruqyah dengan membacakan Kitabullah, demikian pula dzikir dan doa yang ma’tsur maupun doa-doa lain yang tidak bertentangan doa yang ma’tsur. Dan hadits itu juga merupakan dalil bolehnya menahan kebaikan kepada seseorang sebagai balasan perbuatannya. Para sahabat menolak melakukan ruqyah sebagai balasan penolakan mereka.
Dalam hadits tersebut juga terdapat dalil bolehnya berijtihad jika tidak didapati nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan menunjukkan agungnya kedudukan Al-Qur’an di dalam jiwa para Sahabat, khususnya surat Al-Fatihah. Dalam hadits itu dijelaskan bahwa rezeki yang berada ditangan seseorang dan akan Allah bagikan kepada orang lain tidak dapat ditahan siempunya. Ketika penduduk kampung itu menolak menerima mereka sebagai tamu -sementara Allah telah menetapkan bagi rombongan sahabat tersebut bagian dari harta penduduk kampung itu-, meskipun mereka menghalanginya namun Allah menjadikan sengatan kalajengking terhadap kepala kampung itu sebagai sebab berpindahnya harta mereka itu kepada para sahabat. Di dalamnya terdapat hikmah yang sangat tinggi, bahwa balasan akibat penolakan mereka tersebut ditimpakan kepada orang yang paling keras penolakannya di antara mereka, yakni kepala kampung. Sebab biasanya penduduk kampung akan bermusyawarah terlebih dahulu dengan pemuka kampung mereka. Oleh karena kepala kampung itu yang sangat keras penolakannya maka ialah yang merasakan balasannya secara khusus sebagai balasan yang adil.
Dalam kumpulan masalah-masalah fiqih disebutkan: “Tidak ada perbedaan pendapat diantara ahli fiqih tentang bolehnya seorang muslim meruqyah orang kafir. Mereka berdalil dengan hadits Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu yang telah disebutkan di atas. Bentuk pengambilan dalilnya: penduduk kampung yang mereka singgahi dan menolak menerima mereka sebagai tamu itu Adalah kaum kafir.
Dan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tidak melarang perbuatan para sahabat tersebut. Wallahu a’lam.
Islam Tanya & Jawab
Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid
Jumat, 07 Oktober 2011
NASEHAT BAGI KAUM MUSLIMIN SEPUTAR PERISTIWA DI JALUR GAZA
Syaikh ‘Abdul Karîm al-Khudair
Seorang penanya meminta jawaban Anda terhadap saudara-saudara kita di
Palestina, tentang apa kewajiban penguasa dan kaum muslimin terhadap
peristiwa yang menimpa mereka? Penanya juga meminta nasehat dan arahan
anda teradap ummat Islam. Wallôhul Musta’ân.
Jawab :
Demi
Allôh wahai saudara-saudaraku, kita tidak memiliki sesuatupun (yang
lebih besar) melainkan mendoakan mereka, jadi qunut disyariatkan pada
saat ini. Apabila qunut tidak disyariatkan pada situasi seperti hari
ini, maka tidak ada situasi lain sama sekali (untuk melaksanakan qunut).
Apa yang terjadi pada saat ini, tidak jauh berbeda dengan keadaan
ketika tujuh puluh orang pembaca al-Qur`an dibunuh, sehingga Nabi ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm
melakukan qunut selama sebulan dan mendoakan keburukan bagi kaum yang
membunuh mereka. Kejadian yang terjadi saat ini serupa dengan yang
terjadi di zaman Nabi ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm pada saat itu, maka wajib atas kita melakukan doa.
Adapun
yang berkaitan dengan penguasa dan kewajiban mereka, pada hakikatnya
masalah ini merupakan tanggung jawab khusus mereka. Memang, kekurangan
ada di sana sini, kekurangan ada pada hampir semua aspek dan elemen,
kaum muslimin secara umum memiliki kekurangan, para ulama kaum muslimin
juga memiliki kekurangan, dan para penguasa kaum muslimain juga memiliki
kekurangan. Akan tetapi, sesuatu yang manusia tidak sanggup
melakukannya, ia tidak dibebani untuk mengerjakannya.
Karena
itulah wajib bagi setiap orang untuk melihat kapasitas dirinya sendiri.
Orang yang mampu untuk menolong selainnya maka hal ini wajib atasnya,
sebagai bagian dari amar ma’ruf dan nahi mungkar serta dakwah diatas
petunjuk, dan ini semua sebatas kemampuannya. Adapun sesuatu yang tidak
mampu dilakukannya, maka Alloh tidak membebani seseorang kecuali sebatas
yang disanggupinya. Yang wajib bagi kita semua adalah menyibukkan diri
dengan berdoa
ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku perkenankan” (QS Ghâfir : 60)
أَمْ مَنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ
“Atau
siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila
ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan” (QS an-Naml : 62)
Berdoa
secara diam-diam, tidak diragukan memang lebih dekat kepada keikhlasan
daripada berdoa secara umum. Akan tetapi, qunut di tengah musibah yang
tengah melanda ini termasuk sunnah, menghidupkannya adalah bagian dari
syariat, demikian juga dengan berpegang kepada nash-nash shahih tentang do’a-do’a yang disebutkan dan digunakan Nabi ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm di situasi seperti ini.
Telah tsabat (tetap) hadits-hadits yang shahih (valid) yang menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam mendoakan keburukan dan laknat bagi kaum yang telah menindas para wali Alloh :
اللهم قاتل الكفرة أهل الكتاب الذين يصدون عن دينك ويعادون أولياءك
“Ya Alloh, binasakanlah kaum kafir ahli kitab, yang menghalang-halangi dari agama-Mu dan memusuhi wali-wali-Mu”
Beliau Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam juga mendoakan kaum muslimin yang teraniaya :
اللهم انج فلاناً وفلاناً وفلاناً
“Ya Alloh, selamatkanlah Fulan, Fulan dan Fulan.” Baik secara umum maupun khusus.
Pada
intinya, kaum muslimin secara umum tidak memiliki kapasitas melainkan
dengan berdoa (qunut), sedangkan perintah (untuk melakukan qunut) berada
di tangan pemerintah. Memang, pemerintah memiliki
kebijakan dan tindakan tersendiri. Namun yang perlu dicatat, mereka juga
memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang sangat besar di hadapan
Alloh Jalla wa ‘Alâ kelak. Dan hanya Alloh-lah penolong kita.
Sumber : http://www.khudheir.com/ref/4024
PERINGATAN DARI ACARA JAHILIYAH “APRIL MOP”
التحذير من كذبة نيسان ابريل
Oleh :
Al-Muhaddits DR. ‘Âshim al-Qoryûtî
Prolog :
April Mop, dikenal dengan “April Fools’ Day” dalam bahasa Inggris, diperingati setiap tanggal 1 April setiap tahun. Pada hari ini, orang dianggap boleh berbohong atau memberi lelucon
kepada orang lain tanpa dianggap bersalah. Hari ini ditandai dengan
tipu-menipu dan lelucon lainnya terhadap teman dan tetangga, dengan
tujuan mempermalukan mereka-mereka yang mudah ditipu. Di beberapa
negara, lelucon hanya boleh dilakukan sebelum siang hari. (April Fool’s Day BBC)
Ironinya
budaya ini pun diikuti oleh sebagian kaum muslimin dengan latahnya.
Untuk itulah, saya menurunkan ulasan dari seorang ahli hadits terkenal,
DR. Âshim al-Qaryûtî, murid ahli hadits zaman ini, Muhammad
Nâshiruddîn al-Albânî. DR. ‘Âshim dikenal sebagai seorang peneliti dan
pembahas ulung, yang biasa berkutat di manuskrip-manuskrip dan naskah
kuno peninggalan ulama salaf. Bahkan beliau lah yang ditugasi untuk
merawat dan merestorasi manuskrip-manuskrip di Perpustakaan Universitas
Islam Madinah. (Abu Salma)
Fadhîlah asy-Syaikh, DR. ‘Âshim al-Qaryûtî hafizhahullâhu berkata :
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبيه الصادق الأمين إمام المتقين وبعد
Segala
puji hanyalah milik Alloh Pemelihara semesta alam. Sholawat dan salam
semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi-Nya yang Jujur lagi
tepercaya, penghulu hamba-hamba-Nya yang bertakwa. Wa ba’d :
Sesungguhnya
dusta/bohong itu merupakan penyakit besar, karena bohong termasuk dosa
yang paling buruk dan cela (aib) yang paling jelek. Dusta juga dijadikan
sebagai indikasi dan tanda-tanda kemunafikan dan pelakunya dianggap
jauh dari keimanan. Rasulullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam
sendiri adalah orang yang paling benci dengan kedustaan. Dusta dan iman
tidak akan pernah bersatu kecuali salah satunya pasti mendepak yang
lainnya. Dusta itu menimbulkan keraguan dan kerusakan bagi pelakunya.
Sesungguhnya, menyerupai orang kafir (tasyabbuh bil kufroh)
itu dilarang di agama kita, bahkan kita diperintahkan untuk menyelisihi
orang kafir. Karena sesungguhnya menyerupai mereka walaupun hanya
sekedar lahiriyah saja, namun ada kaitannya dengan batiniyah.
Sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil al-Qur`ân dan sunnah nabawiyah.
Cukuplah kiranya bagi kita sabda Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam :
ألا إن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله، ألا وهي القلب
“Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya di dalam jasad itu ada segumpal daging, yang apabila
segumpal daging itu baik maka baiklah seluruh jasadnya, dan apabila
buruk maka buruklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging
itu adalah hati.”
Dan bahaya yang paling besar di dalam menyerupai orang kafir itu adalah, apabila perkaranya berkaitan dengan urusan i’tiqâdî (keyakinan).
Ritual “April
Mop” merupakan bentuk taklid buta. Betapa sering kita melihat dan
mendengar ritual bohong ini berimplikasi buruk, menimbulkan rasa dengki,
dendam, saling memutus sillaturrahim dan saling membelakangi diantara
manusia. Betapa sering ritual bohong ini menyebabkan terjadinya
keretakan ukhuwah (persaudaraan) dan percekcokan di dalam keluarga.
Betapa sering hal ini membuahkan keburukan dan menyebabkan kerugian baik
materil maupun moril, dan lain sebagainya. Dan ini semua disebabkan
oleh taklid, membebek kepada kebiasaan kuno mayoritas bangsa Eropa.
Adapun
bulan April merupakan bulan keempat dari tahun masehi (gregorian).
April sendiri asalnya merupakan derivasi kata dari bahasa Latin
“Aprilis” di dalam sistem kalenderisasi Romawi kuno. Bisa juga merupakan
derivat kata dari predikat (kata kerja) bahasa Latin “Arerire” yang
berarti “membuka” (fataha), yang menunjukkan permulaan musim semi, ketika kuntum bunga bermunculan dan bunga-bunga bermekaran.
Bulan April merupakan permulaan tahun yang menggantikan bulan Januari (Kânûn ats-Tsânî, bahasa Suryani, pent.)
di Perancis. Pada Tahun 1654, Raja Perancis, Charles VII memerintahkan
untuk merubah awal tahun menjadi bulan Januari menggantikan bulan April.
Adapula penjelasan lain yang mengembalikan sebagian (kalenderisasi)
kepada Greek (Yunani), sebab bulan April adalah permulaan musim semi.
Bangsa Romawi mengkhususkan hari pertama bulan April untuk merayakan
hari “Venus”, yang merupakan simbol kasih sayang, keindahan, kesenangan,
riang tawa dan kebahagiaan. Para janda dan gadis-gadis berkerumun di
Roma tepatnya di kuil Venus, mereka menyingkapkan kekurangan (cacat)
fisik dan mental mereka, berdoa kepada dewi Venus supaya menutup cacat
ini dari pandangan pasangan mereka.
Adapun
bangsa Saxon, mereka merayakan di bulan ini untuk memperingati
dewa-dewa mereka, hari “Easter” (Paskah), yang merupakan salah satu dewa
kuno, nama yang sekarang dikenal sebagai festival paskah menurut kaum
kristiani di dalam bahasa Inggris.
Setelah
ulasan di atas, jelaslah bagi kita bahwa bulan April ini memiliki
urgensi yang spesial di tengah-tengah bangsa Eropa kuno.
Belum
diketahui asal muasal ritual kebohongan ini (April Mop) secara khusus
dan ada beberapa versi pendapat tentangnya. Sebagiannya berpendapat
bahwa ritual ini berkembang beserta dengan perayaan muslim semi, yang
dirayakan siang malam pada tangga 21 Maret.
Sebagian
lagi berpandangan bahwa bid’ah ini bermula di Perancis pada tahun 1564,
setelah pewajiban kalenderisasi baru –sebagaimana telah berlalu
penjelasannya-, ada seseorang yang menolak kalenderisasi baru ini, maka
pada hari pertama bulan April, dia menjadi korban sejumlah orang yang
mempermalukan dirinya dan mencemoohnya sehingga jadilah hari ini sebagai
waktu untuk mengolok-olok orang lain.
Sebagian
lagi berpendapat bahwa bid’ah ini meluas hingga ke zaman kuno dan
perayaan paganis, disebabkan korelasinya yang erat dengan historinya
yang spesifik pada permulaan musim semi, yaitu merupakan peninggalan
ritual paganis yang tersisa. Ada juga yang mengatakan bahwa berburu
(menangkap ikan) di sebagian negeri akan mendapatkan jumlah yang sedikit
di permulaan hari penangkapan pada sebagian besar waktu. Dan inilah
yang menjadi landasan rituan kebohongan yang terjadi pada awal bulan
April.
Masyarakat
Inggris memberikan nama pada hari awal bulan April sebagai hari untuk
semua canda tawa dan lelucon, “All Fools Day”. Mereka mengisinya dengan
perbuatan bohong yang terkadang dikira benar oleh orang yang
mendengarnya, sehingga ia menjadi korban/obyek cemoohan.
Ritual
April Mop ini, disebutkan pertama kali ke dalam bahasa Inggris di
Majalah “Drakes Newsletter” yang diterbitkan pada hari kedua bulan April
tahun 1698 M. Majalah ini menyebutkan bahwa sejumlah orang menerima
undangan untuk menghadiri proses ‘bilasan hitam’ di tower London pada
pagi hari awal bulan April.
Diantara
kejadian populer yang pernah terjadi di Eropa pada awal April adalah
surat kabar berbahasa Inggris “Night Star” pada tanggal 31 Maret 1864
mengumumkan bahwa besok –awal April- akan diadakan pelepasan keledai
massal di lahan pertanian kota Aslington Inggris, maka orang-orang pun
berbondong-bondong datang untuk menyaksikan hewan tersebut dan dan
berkerumun sembari berbaris menunggu. Setelah menunggu cukup lama,
mereka pun bertanya kapan waktu dilepaskannya keledai-keledai tersebut,
dan mereka tidak mendapati apa-apa. Akhirnya mereka pun sadar bahwa
mereka (telah terkecoh) datang dengan bergerombol dan berkerumun
seakan-akan mereka inilah keledainya!!!
Apabila
Anda terheran-heran, maka lebih mengherankan lagi apa yang diduga oleh
sebagian orang tentang kebohongan ini ketika mereka terkecoh, dengan
serta merta mereka berteriak, “april mop”! Seakan-akan mereka
menghalalkan kebohongan, wal’iyâdzu billâh. Kami mengetahui bahwa kedustaan itu tidak boleh walaupun hanya untuk bercanda. Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
ويل للذي يحدث بالحديث ليضحك به القوم فيكذب، ويل له، ويل له
“Celakah orang yang bercerita untuk membuat suatu kaum tertawa namun ia berdusta, celaka dirinya dan celaka dirinya.”
Memang, telah tetap (hadits-hadits yang menjelaskan) bahwa Rasulullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam pernah bercanda, akan tetapi beliau tidak pernah berkata di dalam candanya melainkan kebenaran. Canda Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam
ini, di dalamnya terdapat nilai kebaikan bagi jiwa para sahabatnya,
menguatkan rasa cinta, menambah persatuan, dan meningkatkan semangat dan
kekuatan. Yang menunjukkan hal ini adalah sabda beliau Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam :
والذي نفسي بيده لو تداومون على ما تكونون عندي من الذكر لصافحتكم الملائكة على فرشكم وفي طرقكم، ولكن يا حنظلة ساعة وساعة
“Demi
Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya kalian selalu berada
dalam kondisi sebagaimana ketika berada di sisiku dan terus-menerus
sibuk dengan dzikir niscaya para malaikat pun akan menyalami kalian di
atas tempat pembaringan dan di jalan-jalan kalian. Namun, wahai
Hanzhalah. Ada kalanya begini, dan ada kalanya begitu.” Beliau
mengucapkan sebanyak tiga kali.
Perlu dicatat, bahwa kebanyakan bercanda itu dapat merusak murû`ah
(kewibawaan) seseorang dan merendahkan dirinya, walaupun meninggalkan
semua bentuk canda menyebabkan kepahitan (hidup) dan jauh dari sunnah
dan sirah nabawiyah. Sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan.
Diantara keburukan banyak bercanda adalah melalaikan dari mengingat
Alloh, menyebabkan hati menjadi keras, membawa sikap dendam dan
hilangnya kasih sayang. Bercanda menyebabkan banyak tertawa sehingga
dapat mengeraskan hati. Secara umum, bercanda itu sepatutnya tidak
dilakukan secara terus menerus dan menjadi kebiasaan. Dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam. Demikianlah akhir dari seruan kami, segala pujian hanyalah milik Alloh Rabb semesta alam.
Sumber : http://abusalma.wordpress.com/2009/04/01/peringatan-dari-acara-jahiliyah-%E2%80%9Capril-mop%E2%80%9D/
PARA PENJEBAK DAN HASRAT UNTUK MENCELA
Sumber : abusalma.wordpress.com
Oleh : Syaikh Shadiq al-Baidhani
Alloh Ta’âlâ menciptakan makhluk dan menjadikan mereka
memiliki tabiat untuk melakukan kesalahan dan kemaksiatan, agar
hamba-hamba Alloh mengetahui bahwa kesempurnaan itu hanyalah milik Alloh
semata. Dia tidak butuh kepada makhluk-Nya, sedangkan makhuk itu
bersifat lemah dan selalu bergantung pada tuhannya. Mereka sangat butuh
kepada-Nya di dalam setiap setiap gerakan maupun diamnya.Tidaklah mungkin orang yang berakal itu mendakwakan adanya ishmah (keterpeliharaan dari dosa) dan keterbebasan (dari kesalahan), karena ini merupakan hal yang mustahil secara akal maupun syar’i. Karena itulah Alloh menjadikan taubat itu sebagai obat kemaksiatan. Barangsiapa yang bertaubat, maka Alloh akan menerima taubatnya, dan ini merupakan suatu hal yang telah disepakati oleh umat Islam semenjak zaman kenabian dahulu sampai hari ini.
Hanya saja, ada sebagian orang yang pada hari ini, yang menyandarkan diri mereka kepada ilmu -padahal mereka adalah orang yang jauh dari sebutan ini- meragukan orang yang secara terang-terangan rujuk dari kesalahannya, lantaran dia menyelisihi pendapat mereka, atau mengingkari sikap melampaui batas yang ada pada mereka dan kegemaran mereka memakan daging para ulama. Sampai-sampai sebagian mereka menyatakan bahwa Fulan itu sebenarnya tidak rujuk/taubat, karena apa yang disembunyikannya berlainan dengan yang ditampakkannya. Wahai, Maha Suci Alloh yang mengetahui hal yang ghaib, mereka masuk ke dalam urusan hati hamba, sampai-sampai menyatakan suatu perkara yang ghaib. Ini adalah suatu kebodohan yang nyata!
Inilah Nabi kita Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam yang bersabda :
إني لم أومر أن أنقب عن قلوب الناس ولا أن أشق بطونهم
“Sesungguhnya aku tidak diperintahan untuk menyelidiki tentang hati manusia dan tidak pula menyibak batin mereka.”Beliau juga berkata kepada Usâmah yang membunuh seorang lelaki (ketika perang) setelah lelaki itu mengucapkan syahadat Lâ Ilâha illallôh :
كيف قتلته بعد أن قال لا إله إلا الله
“Bagaimana kamu bisa membunuhnya setelah dia mengucapkan Lâ Ilâha illallôh?”Usâmah menjawab : “Sesungguhnya dia hanya ingin melindungi diri (supaya tidak dibunuh).”
Lantas Nabi menjawab :
فهلا شققت عن قلبه
“Apakah kamu telah membelah dadanya?”Demikian pula di dalam hadits Miqdâd yang semisal, di dalam kisahnya turun firman Alloh Ta’âlâ :
وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَىٰ إِلَيْكُمُ السَّلَامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا تَبْتَغُونَ عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang
mengucapkan salam kepadamu: “Kamu bukan seorang mu’min”, dengan maksud
mencari harta benda kehidupan di dunia.” (QS an-Nisâ : 94)‘Umar bin al-Khaththâb berkata :
من أظهر لنا خيراً أجبناه وواليناه عليه ، وإن كانت سريرته بخلاف ذلك ، ومن أظهر لنا شراً أبغضناه عليه وإن زعم أن سريرته صالحة
“Barangsiapa yang menampakkan kebaikan di hadapan kita, maka akan
kita sambut dan kita berikan dia loyalitas, walaupun batinnya menyatakan
lain. Dan barangsiapa yang menampakkan keburukan di hadapan kita, maka
kita akan membencinya walaupun dia mengira bahwa batinnya baik.”Betapa banyak orang yang menyia-nyiakan waktunya di dalam mengkritik Fulan dan menyebut kesalahan-kesalahannya, bahkan sampai mencari-cari dan memburu kesalahan-kesalahan terbarunya, kemudian menyebarkannya kepada masyarakat, tanpa memilah antara orang yang berilmu dengan yang jahil. Akibatnya mereka merusak hubungan diantara sesama dan menyebarkan adu domba, kemudian orang-orang jahil pun menambah-nambahi kedustaan, dengan maksud menjatuhkan (kredibilitas) seorang yang berilmu lagi pemberi nasehat ini.
Mereka menyandarkan metoda mereka yang buruk ini kepada kaum yang berafiliasi kepada ilmu, namun hal ini tidak menghalangi mereka dari penyakit hasad, yang didorong dengan alasan untuk memisahkan masyarakat dari para pengaku-ngaku. Ini adalah suatu keburukan. Orang-orang semisal mereka ini, tidaklah memiliki teladan yang baik dan tidak pula argumentasi yang kuat, karena motivasi mereka yang jelek, yaitu hasad dan berlomba-lomba untuk mencari ridha orang lain.
Sekalipun kita menerima keilmuan pada mereka, namun penyelewengan yang ada pada mereka menyebabkan kita dapat memastikan secara yakin akan haramnya mengikuti mereka di dalam kebid’ahan ini.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs bahwa beliau berkata :
خذوا العلم حيث وجدتموه ولا تقبلوا قول الفقهاء بعضهم على بعض فإنهم يتغايرون كما تتغاير التيوس في الزريبة
“Ambillah ilmu darimana saja kalian dapati, dan janganlah kalian
menerima ucapan ulama fikih (yang saling mencela) diantara sesama
mereka, karena sesungguhnya mereka itu berpindah-pindah sebagaimana
kambing yang berpindah-pindah di kandanganya.”Mereka adalah kaum yang dikenal dengan hasratnya suka mencela, suka berburuk sangka, sering membawa suatu ucapan kepada pemahaman yang buruk, gemar menanti dan mengintai (kesalahan orang lain), merasa senang dengan kesalahan orang lain, dan gemar melakukan ghibah dan adu domba. Hanya saja penampakan mereka seperti orang yang shalih, namun pada saat mereka berkumpul, berkhutbah atau menulis, mereka akan menampakkan hakikat mereka sebagai orang rendahan. Lantas, apakah layak orang seperti mereka ini dianggap sebagai orang-orang yang melakukan perbaikan?!
[Sumber : Situs Resmi Syaikh al-Baidhânî]
Teks Arab :
لقد خلق الله الخلق وجَبَلَهم على الخطأ والمعصية ليعلم العباد أنالكمال لله وحده ، وأنه غني عن الخلق ، وأنهم فقراء لا غنى لهم عنه ، محتاجون إليه في كل حركاتهم وسكناتهم.ولا يمكن لعاقل أن يدَّعي العصمة والسلامة إذ هذا من الأمور المستحيلة عقلاً وشرعاً.لذا جعل الله دواء المعصية التوبة ، ومن تاب تاب الله عليه وهذا ما أجمعت عليه أمة الإسلام من زمن النبوة حتى يومنا هذا.إلا أن طبقةًً من الناس اليوم وقد ينتسبون إلى العلم وهم أبعد ما يكون منه يشككون فيمن أظهر التراجع عن خطئه لكونه يخالفهم الرأي أو ينكر عليهم التنطع وأكل لحوم العلماء.حتى أظهر بعضهم أن فلاناً من الناس لم يتراجع وأن ما يخفيه غير ما يظهره، فيا سبحان الله اطلع الغيب !؟ ودخل في قلوب العباد حتى يشهد بأمر غيبي ، هذه سفاهة ظاهرة.فهذا نبينا صلى الله عليه وسلم يقول : إني لم أومر أن أنقب عن قلوب الناس ولا أن أشق بطونهم.و قال لأسامة في الرجل الذي قتله بعد أن قال لا إله إلا الله ” كيف قتلته بعد أن قال لا إله إلا الله “قال : إنما تعوذاً.قال : ” فهلا شققت عن قلبه”.وكذلك في حديث المقداد نحو هذا و في ذلك نزل قوله تعالى : “و لا تقولوا لمن ألقى إليكم السلام لست مؤمناً تبتغون عرض الحياة الدنيا”.وقد قال عمر بن الخطاب : من أظهر لنا خيراً أجبناه وواليناه عليه ، وإن كانت سريرته بخلاف ذلك ، ومن أظهر لنا شراً أبغضناه عليه وإن زعم أن سريرته صالحة.لقد ضيَّعوا أوقاتاً كثيرة في نقد فلان وذكر أخطاءه والبحث والتصيد عن أخطاء جديدة ونشرها بين المجتمعات دون تفريق بين متعلم وجاهل حتى أفسدوا ذات البين وانتشرت فيهم النميمة وفشا الكذب بما يزيده بعض الجهال بقصد إسقاط فلان المتعلم الناصح ، معتمدين في منهجهم الساقط على أقوامٍ ينتسبون للعلم لم يمنعهم داء الحسد من تشجيع هؤلاء بحجة تمييز المجتمعات من الأدعياء.وهذا اعتبار فاسد ، ومثل هؤلاء المشجعين لا يعدون قدوةً حسنة ولا حجة مستقيمة لكون الباعث لهم سيئ وهو الحسد أو التنافس لكسب وجوه الناس إليهم.ولو سلمنا لهم بالعلم على ما هم عليه من الانحراف لجزمنا قطعاً حرمة متابعتهم في هذه البدعة.رُوي عن ابن عباس أنه قال : خذوا العلم حيث وجدتموه ولا تقبلوا قول الفقهاء بعضهم على بعض فإنهم يتغايرون كما تتغاير التيوس في الزريبة.إنهم قومٌ عُرِفوا بشهوة التجريح وسوء الظن وحمل الكلام على أسوأ المحامل والتربص والترصد والفرح بالخطأ والغيبة والنيميمة إلا أن صورهم صورالصالحين فإذا اجتم
Nasehat Syaikh Ali Hasan : Bantahlah Dengan Lemah Lembut
Sungguh aku berwasiat kepada saudara-saudaraku salafiyyin -dimanapun ia berada- untuk bertakwa kepada Allah Ta’âlâ di dalam pena-pena dan tulisan-tulisan mereka, di dalam melakukan bantahan, menerangkan kesalahan dan mengomentari mereka…
Aku tidak mengatakan pada mereka -saudara-saudaraku salafiyin-:
Jangan kalian tulis!!
Jangan kalian bantah!!
Jangan kalian komentari!!
Tidak!!! Bahkan tulislah, akan tetapi dengan ilmu…
Bantahlah….akan tetapi dengan santun…
Berikanlah komentar…akan tetapi dengan lembut…
Dan sungguh (sebagian saudara-saudaraku) yang bersemangat -atau memiliki kecemburuan- terhadapku bergegas mengatakan:
“Akan tetapi (wahai syaikh!,) mereka yang menyelisihimu itu(!) telah mencerca, berbohong, berbuat kedustaan, mencela dan menuduh!
Maka aku katakan -sebagai jawaban-:
Janganlah kalian melakukan seperti apa yang mereka lakukan.
Jjanganlah kalian berjalan di belakang mereka (mengikuti cara mereka, ed.),
Janganlah kalian terbakar emosi dengan perbuatan-perbuatan mereka!!!
Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana lagi Maha Mdil -Mahasuci Ia-,
Doakanlah mereka dengan hidayah dan kebaikan…
Ikhlaskan niat karena Rabb kalian ketika dalam membantah mereka….
Berbuat jujurlah bersama diri kalian…
Jangan jadikan tujuan kalian -baik besar maupun kecil!- hanya sebagai pembelaan -semata- terhadap Fulan atau ‘Allan!! (Meskipun perbuatan tersebut -jika sesuai dengan kadarnya- adalah sesuatu yang disyariatkan tidak dilarang)
Jadikanlah tujuan kalian untuk menolong agama dan manhaj kalian (dari hal-hal) yang ditimpa ghuluw, maupun keangkuhan… yang ditimpa tamyî‘ (sikap lembek),hal yang merusak,ataupun keburukan!!
Janganlah kalian kelewat batas di dalam memuji, dan jangan pula berlebihan dalam mencela…
Akan tetapi bersamaan dengan itu saya katakan –dalam mengakui kenyataan yang tidak dipungkiri- :
Sesungguhnya serangan (yang menghancurkan) itu -yang tidak mengenal belas kasih- , penjatuhan (kredibiltas) yang sangat keras ini, dan bantahan yang kejam -yang diarahkan pada kami- akan menghantarkan –dan ini adalah suatu keharusan- kepada balasan perbuatan yang sebaliknya! Yaitu dengan sedikit sikap keras.
Aaku tidak mengatakan : sama seperti sikap keras mereka!! bahkan –hampir- tidak sampai sepersepuluhnya atau kurang dari itu!
Dan ini -atas keadaannya sebagai orang yang menyelisihi- lebih sesuai dengan perkara yang tertanam dalam tabiat jiwa, sebagaimana Rabb kita -mahasuci Ia- berfirman:
Hanya saja setiap dari kita hendaknya mencurahkan kesungguhan yang pada dirinya sesuai dengan kemampuan dan kesanggupannya, untuk melawan hal yang mendorongnya untuk membalas, atau mengembalikan permusuhan-, sebagaimana firman Allah Ta’âlâ :
Aku tidak mengatakan pada mereka -saudara-saudaraku salafiyin-:
Jangan kalian tulis!!
Jangan kalian bantah!!
Jangan kalian komentari!!
Tidak!!! Bahkan tulislah, akan tetapi dengan ilmu…
Bantahlah….akan tetapi dengan santun…
Berikanlah komentar…akan tetapi dengan lembut…
Dan sungguh (sebagian saudara-saudaraku) yang bersemangat -atau memiliki kecemburuan- terhadapku bergegas mengatakan:
“Akan tetapi (wahai syaikh!,) mereka yang menyelisihimu itu(!) telah mencerca, berbohong, berbuat kedustaan, mencela dan menuduh!
Maka aku katakan -sebagai jawaban-:
Janganlah kalian melakukan seperti apa yang mereka lakukan.
Jjanganlah kalian berjalan di belakang mereka (mengikuti cara mereka, ed.),
Janganlah kalian terbakar emosi dengan perbuatan-perbuatan mereka!!!
Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana lagi Maha Mdil -Mahasuci Ia-,
Doakanlah mereka dengan hidayah dan kebaikan…
Ikhlaskan niat karena Rabb kalian ketika dalam membantah mereka….
Berbuat jujurlah bersama diri kalian…
Jangan jadikan tujuan kalian -baik besar maupun kecil!- hanya sebagai pembelaan -semata- terhadap Fulan atau ‘Allan!! (Meskipun perbuatan tersebut -jika sesuai dengan kadarnya- adalah sesuatu yang disyariatkan tidak dilarang)
Jadikanlah tujuan kalian untuk menolong agama dan manhaj kalian (dari hal-hal) yang ditimpa ghuluw, maupun keangkuhan… yang ditimpa tamyî‘ (sikap lembek),hal yang merusak,ataupun keburukan!!
Janganlah kalian kelewat batas di dalam memuji, dan jangan pula berlebihan dalam mencela…
Akan tetapi bersamaan dengan itu saya katakan –dalam mengakui kenyataan yang tidak dipungkiri- :
Sesungguhnya serangan (yang menghancurkan) itu -yang tidak mengenal belas kasih- , penjatuhan (kredibiltas) yang sangat keras ini, dan bantahan yang kejam -yang diarahkan pada kami- akan menghantarkan –dan ini adalah suatu keharusan- kepada balasan perbuatan yang sebaliknya! Yaitu dengan sedikit sikap keras.
Aaku tidak mengatakan : sama seperti sikap keras mereka!! bahkan –hampir- tidak sampai sepersepuluhnya atau kurang dari itu!
Dan ini -atas keadaannya sebagai orang yang menyelisihi- lebih sesuai dengan perkara yang tertanam dalam tabiat jiwa, sebagaimana Rabb kita -mahasuci Ia- berfirman:
وَلَمَنِ انْتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهِ فَأُولَئِكَ مَا عَلَيْهِمْ مِنْ سَبِيل
“Dan sungguh orang-orang yang membela diri setelah dizhalimi tidak ada satu dosapun terhadap mereka.” (QS asy-Syûrâ: 41)Hanya saja setiap dari kita hendaknya mencurahkan kesungguhan yang pada dirinya sesuai dengan kemampuan dan kesanggupannya, untuk melawan hal yang mendorongnya untuk membalas, atau mengembalikan permusuhan-, sebagaimana firman Allah Ta’âlâ :
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar-benar akan Kami tunjukkan pada mereka jalan-jalan kami, dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS al-Ankabût : 69) [Dialihbahasakan oleh al-Akh Fachri
Dari Muqoddimah Manhaj Salaf hal 35-37 cet-2
karya Syaikh ‘Alî Hasan al-Halabî,
dengan sedikit pembenahan oleh Abu Salma]
BEGINILAH CARA MENASEHATI SAUDARAMU
Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb al-‘Aqîl
Pertanyaan : Ahsanallôhu ilaykum (Semoga Alloh menjadikan Anda lebih baik), Syaikh kami –semoga Alloh Ta’âlâ menjaga Anda- Saya mengharapkan Anda sudi menjelaskan kepada kami bagaimana cara (thorîqoh) yang syar’i di dalam memberikan nasehat secara benar, terutama apabila yang dinasehati tersebut adalah seorang sunni yang bermanhaj salafi yang melakukan satu atau lebih kekeliruan?
Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb al-‘Aqîl hafizhahullâhu menjawab :
Nasehat itu (wahai saudara) semoga Alloh menjaga kalian semua, merupakan perkara yang agung. Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
الدّين النّصيحة ، ثلاثا ، قُلنا لمن يا رسول اللّه؟ قال: للّه ولكتابه ولرسوله ولأئمّة المسلمين وعامّتهم
“Agama itu adalah nasehat” sebanyak tiga kali. Kami (para sahabat) bertanya : “untuk siapa wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab : “Untuk Alloh, Kitab-Nya, Rasul-Nya dan pemimpin kaum muslimin beserta seluruh kaum muslimin”
Jadi, menasehati saudara-saudara kita, (adalah dengan) menyeru mereka kepada yang ma’rûf, melarang dari yang munkar, mengajak mereka kepada kebaikan. Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
وأن تأتي النّاس بمثل ما تُحبّ أن يأتوك به
“Perlakukan seseorang sebagaimana Anda ingin diperlakukan”
Kaidah ini –semoga Alloh menjaga Anda-, “Perlakukan seseorang sebagaimana Anda ingin diperlakukan”. Bagaimana Anda menginginkan orang lain menasehati Anda? Bagaimana Anda menginginkannya? Bagaimana Anda ingin dinasehati orang lain? Apakah Anda ingin dinasehati orang lain dengan kekerasan? Dengan celaan? Dengan pukulan? Ataukah dengan cara yang baik?
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ
“Tolaklah (kejahatan) itu dengan cara yang baik, maka tiba-tiba orang yang memiliki permusuhan diantaramu dengan dirinya…”
Tidak diragukan lagi –semoga Alloh menjaga Anda- bahwa kita masih banyak sekali memiliki kekurangan dalam hal ini. Kita masih memiliki kekurangan di dalam interaksi (mu’amalah) kita dengan bapak dan ibu kita. Kekurangan yang besar!
Demi Alloh! Sesungguhnya ada sebagian bapak dan ibu yang mengeluhkan anak-anak mereka. Mereka mengatakan : “aduhai sekiranya dia tidak menjadi anak yang multazim (komitmen terhadap syariat), karena ketika dia belum multazim, dia berlaku sangat baik kepadaku daripada sekarang.” Demi Alloh, seperti inilah yang kita dengar dari sebagian bapak dan ibu.
Demikian pula dengan interaksi kita terhadap ikhwân kita, saudara-saudara kandung kita, bapak dan ibu kita. Interaksi kita dengan tetangga kita. Interaksi kita dengan isteri kita, suami kita… Bahkan sampai-sampai, ada salah seorang diantara mereka mengatakan : “Jangan menikahi wanita shalihah. Tidakkah kalian lihat bahwa dia telah menyebabkan rambutku beruban?” Na’ûdzubillâh! Na’ûdzubillâh! (Kami memohon perlindungan kepada Alloh)! Dia telah menyelisihi sabda Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam :
إظفر بذات الدّين تربت يداك
“Pilihlah karena faktor agamanya niscaya engkau beruntung”
Hal ini lebih disebabkan karena, wanita shalihah tersebut memang memiliki agama yang bagus, namun ia tidak mengetahui caranya. Ia tidak mengetahui bagaimana mendakwahi suaminya. Demikian pula dengan para suami. Kami memohon kepada Alloh keselamatan.
Maksudku, seakan-akan mereka menjauh dari orang yang bagus agamanya, padahal orang yang bagus agamanya secara hakiki, pastilah ia mencintai isterinya dan sekalipun ia tidak mencintainya, ia tidak akan menzhaliminya.
Jangan menikah kecuali dengan orang yang bagus agamanya, karena dia pasti akan mencintai isterinya dan memuliakannya. Sekiranya ia tidak mencintai isterinya, ia pun tidak akan sekali-kali menzhaliminya. Karena orang yang bagus agamanya ini takut kepada Alloh Azza wa Jalla. Ia benar-benar takut kepada Alloh Azza wa Jalla. Namun, kita tidak luput dari kekurangan.
Diantaranya pula –semoga Alloh menjaga Anda- adalah nasehat dan interaksi (mu’amalah) diantara kita. Terkadang kita memiliki sikap kasar dan suka membesar-besarkan suatu kesalahan. Kita punya sifat seperti ini. Oleh karena itulah –semoga Alloh menjaga Anda- ada baiknya merujuk kepada petunjuk Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam ketika beliau menyikapi seorang Yahudi.
Datang seorang Yahudi dan dia mengucapkan : “As-Sâmu ‘alaika Ya Muhammad” (Semoga kebinasaan menimpamu wahai Muhammad). Dia adalah seorang Yahudi jahat, di sini, Madinah. Dia mengucapkan : “As-Sâmu ‘alaika Ya Muhammad” (Semoga kebinasaan menimpamu wahai Muhammad). Nabi menjawabnya : “wa ‘alaik” (dan atasmu).
Lihatlah, bagaimana akhlak beliau ini?! Demi Alloh, sekalipun rambut kita mulai memutih, usia kita mulai menua, pelupuk mata kita mulai redup, kita mungkin tidak mampu melakukan hal seperti ini. Semoga Alloh melimpahkan shalawat dan salam-Nya kepada beliau. Allôhu Akbar! Allôhu Akbar! Beliau hanya menjawab “wa ‘alaika”.
Ibunda kita (‘Aisyah) Radhiyallâhu ‘anhâ menjawab, “ ‘alaika as-Sâm wal La’nah” (Semoga kebinasaan dan laknat menimpamu). Apa yang menimpamu (wahai Yahudi)? Kebinasaan dan laknat! Nabi mengatakan : “Tenanglah wahai ‘Aisyah”. ‘Aisyah menjawab : “Tidakkah Anda mendengarkan apa yang dia ucapkan?”. Nabi pun menjawab : “Dan dirimu, tidakkah engkau mendengar apa yang aku katakan? Aku katakan padanya “wa ‘alaika”. Dan Alloh pasti akan mengabulkan doaku terhadapnya sedangkan do’anya terhadapku tidak akan dikabulkan-Nya”
Jadi, kebinasaan dan laknat menimpa dirinya dikarenakan Nabi mendoakan keburukan atasnya. Kemudian beliau melanjutkan ucapannya :
إنّ الرّفق ما كان في شيء إلّا زانه وما نُزع من شيء إلّا شانه
“Sesungguhnya, kelemahlembutan itu apabila ada pada sesuatu, ia akan menghiasinya namun apabila tercabut dari sesuatu, ia akan memburukkannya”
Agama kita adalah agama kelemahlembutan –semoga Alloh menjaga Anda-. Maka berlemahlembutlah terhadap saudara-saudara kalian, bersabarlah atas mereka, tautlah hati mereka dan berilah hadiah kepada mereka. Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam pernah memberi hadiah ratusan ekor unta, beliau pernah memberi hadiah kepada seorang Arab Badui sekumpulan kawanan domba. Sekumpulan kawanan domba! Semoga Alloh melimpahkan shalawat dan salam-Nya kepada beliau.
Di dalam masalah aqidah –semoga Alloh menjaga Anda-, di kota Madinah ini, salah seorang saudara kita dari luar Kerajaan pernah saya berikan nasehat tentang masalah yang berkaitan dengan tauhid. Dia berkata kepadaku, “perlahan-lahan lah kepada diriku. Saya sekarang berusia 53 tahun. Sepanjang ingatanku, dahulu ibuku sering membawaku setiap pagi ke sebuah makam sehingga aku mencium nisan kuburan tersebut. Apakah Anda ingin agar Saya meninggalkan keyakinan Saya selama 50 tahun ini hanya dengan beberapa patah kata. Perlahanlah! Sedikit demi sedikit.”
Apa yang dia katakan adalah benar. Selama 13 tahun Nabi menghendaki agar mereka (kaum Quraisy) meninggalkan al-Lâta wal Uzza. Tidak hanya dalam sehari semalam kemudian Alloh menurunkan adzab kepada mereka. (Lihatlah) ketika Nabi Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam diusir dan malaikat penjaga gunung pun datang kepada beliau dan menawarkan, “jika Anda mau, akan kuhantam mereka diantara dua gunung.” Nabi menjawab,
لا ، أتأنّى بهم،لعلّ اللّه أن يخرج من أصلابهم من يعبداللّه
“Tidak, Saya akan tetap bersabar terhadap mereka, moga-moga saja Alloh mengeluarkan dari anak keturunan mereka kaum yang menyembah Alloh.”
Padahal mereka berada pada kekafiran, beliau mau bersikap sabar terhadap mereka. Lantas bagaimana kiranya dengan saudara Anda seorang salafî yang memiliki beberapa kekeliruan? Seharusnya Anda juga bersabar padanya dan mengecup keningnya. Katakan padanya, “Wahai saudaraku, sesungguhnya aku mencintaimu.” “Wahai Mu’adz, sesungguhnya aku mencintaimu”. Benar tidak demikian ini? “Wahai akhî, aku mencintaimu”.
Bukannya malah Anda berkata kepadanya, “Anda dan guru Anda tidak faham… kalian ini keras kepala, kalian…” Tentu saja dia akan menjawab hal yang sama, “Anda dan guru Anda juga tidak faham.” Demi Alloh, Alloh! (bersikap baiklah) terhadap saudaramu, semoga Alloh menjaga kalian.
Berlemahlembutlah terhadap mereka, karena zaman ini adalah zaman ghurbah (keterasingan). Hari ini adalah zaman ghurbah. Apabila Anda melihat ada orang yang harumnya harum salafiyah, maka kecuplah keningnya, karena wanginya semerbak. Kecuplah keningnya dan katakan padanya, “saya mencintaimu”.
Transkrip Asli :
أحسن الله اليكم : شيخنا حفظكم الله تعالى أرجوا أن تبينوا لنا الطريقة الشرعية لكيفية آداء النصيحة على الوجه الصحيح. وبخاصة اذا كان المنصوح سني سلفي المنهج وصدر منه خطأ أو خطئين؟
الجواب: النّصيحة حفظكم اللّه ، شأنُها شأن عظيم ،والنّبيّ صلّى اللّه عليه وسلّم يقول :
(الدّين النّصيحة ،
ثلاثا ،
قُلنا لمن يا رسول اللّه؟
قال:
للّه
ولكتابه
ولرسوله
ولأئمّة المسلمين وعامّتهم)
فنصيحة الإخوان وأمرهم بالمعروف ونهيهم عن المنكر ودعوتهم إلى الخير
يقول النّبيّ صلّى اللّه عليه وسلّم
(…وأن تأتي النّاس بمثل ما تُحبّ أن يأتوك به)
هذه القاعدة حفظك اللّه:
أن تأتي النّاس بمثل ما تُحبّ أن يأتوك به
كيف تُحبّ ينصحك النّاس؟كيف تُحبّ؟كيف تُحبّ ينصحك النّاس؟هل تُحب أن ينصحك النّاس بالقُوّة؟
بالشّتم؟
بالضّرب؟
وإلّا بالحُسنى؟
{…ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ … }
لا شك حفظكم اللّه أن عندنا خلل كبير جدّا في كثير من الأمر
عندنا خلل في تعاملنا مع آبائنا وأمّهاتنا
خلل كبير
واللّه إنّ بعض الآباء والأمّهات يشتكون أبناءهم يقولون يا ليته ما إلتزم لمّا كان [...] غير ملتزم كان أبرّ بي من الآن
إي واللّه،
هكذا واللّه سمعناه من بعض الآباء والأمّهات، ويعني أيضا معاملاتنا مع إخواننا أشقّاءنا ولأبينا وأمّهاتنا،
معاملاتنا مع جيراننا،
معاملاتنا مع زوجاتنا، معاملاتنا مع أزواجنا،
…
حتّى أنّ أحدهم يقول لا تتزوّجون إمرأة صالحة
تروها شيّبت عيوني
نعوذ باللّه
نعوذ باللّه
يُخالف قول النّبيّ صلّى اللّه عليه وسلّم (إظفر بذات الدّين تربت يداك)
لأنّها تديّنت لكن ما عرفت الطّريق
ما عرفت كيف تدعوا زوجها
كذلك بعض الأزواج
نسأل اللّه العافية
يعني كأن صار ينفرون من صاحب الدّين مع أنّ صاحب الدّين في الحقيقة يعني إمّا أحبّها وإلّا لا يظلمها
لا تزوّج إلّا صاحب دين لأنّو إمّا أن يحبّها فيكرمها
وإلّا لا يظلمها أبدا ،
لأنّه يخاف اللّه عزّ وجلّ
يخاف اللّه عزّ وجلّ كثير،
لكن عندنا خلل،
من ذلك حفظكم اللّه أيضا النّصيحة فيما بيننا والتّعامل فيما بيننا ، عندنا يعني شويّا جفا
وتكبير للأخطاء شويّا يعني
عندنا
ولذلك حفظكم اللّه يعني إرجوا إلى هدي النّبي صلّى اللّه عليه وسلّم
كيف كان يُعامل اليهود
جاء ذاك اليهودي وقال السّامّ عليك يا محمّد يهودي مجرم، هنا في المدينة، السّامّ عليك يا محمّد،
فقال : وعليك،
بأبي هو وأمّي
صلّى اللّه عليه وسلّم
إيش هذه الأخلاق؟!
واللّه تشيب عيوننا وسنوننا وجفوننا ولا نأتي بمعشارها
صلّى اللّه عليه وسلّم
اللّه أكبر
اللّه أكبر
قال:وعليك
قالت أمّنا رضي اللّه عنها:عليك السّامّ واللّعنة
عليك إيش؟
السّامّ واللّعنة
فقال:مه يا عائشة؟!قالت :ما سمعتَ ما قال؟!
قال:وأنتِ، ما سمعتِ ما قُلتُ؟!
قلت له وعليك،واللّه يستجيب دعائي فيه ولا يستجيب دعاءه فيّ
الآن عليه السّامّ واللّعنة لأنّ النّبيّ دعا عليه ثمّ قال (إنّ الرّفق ما كان في شيء إلّا زانه وما نُزع من شيء إلّا شانه)
فديننا دين الرّفق حفظكم اللّه؛إرفقوا بإخوانكم؛وإصبروا عليهم؛ويعني ألّفوا قلوبهم؛واهدوهم؛كان النّبيّ يُهدي المئات من الإبل . واهدى أعرابيّا قطيعا من الغنم؛قطيعا من الغنم؛صلّى اللّه عليه وسلّم ، فالإعتقاد حفظكم اللّه ، هنا في المدينة، أحد إخواننا من غير المملكة يعني منت أنصحه أنا في بعض [...] التّوحيد ، يقول على مهلك عليّ، على مهلك ؛أنا عمري الآن خمسين ، ستّين سنة ؛منذ عرفت نفسي وأمّي تأخذني كلّ صباح للقبر حتّى أبوس العتبةتريدني أترك إعتقاد خمسين سنة بكلمتين؟
على مهلك، شويّ شويّ،فعلا،هو صادق، 13 سنة، والنّبي يريد أن يتركوا اللّات والعزّى، [...] ، ليس يوم وليلة ثمّ نزل عليهم العذاب لمّا أُخرج صلّى اللّه عليه وسلّم ،وجاءه ملك الجبال ، إن شئت أن أطبق عليهم الأخشبين قال لا ، أتأنّى بهم،لعلّ اللّه أن يخرج من أصلابهم من يعبداللّه،وهم كفرة،يتأنّى بهم،كيف أخوك السّلفي اللي عندو بعض الأخطاء؟ تأنّى به وقبّل رأسه؛وقل يا أخي إنّي أحبّك آه، يا معاذ ، إنّي أحبّك، صح ولّا لا؟يا أخي واللّه إنّي أحبّك مو تأتي تقول أنتم وشيخكم ما تفهمون ، وأنتم تعاندون ،وأنتم…[سـ]يقول طبعا وأنتم [و] شيخك ما بتفهم[...]فاللّه اللّه في إخوانكم حفظكم اللّه ، إرفقوا بهم، فالزّمان زمان غربة، اليوم زمان غربة، إذا رأيت الذي فيه ريحة سلفية قبّل رأسه ،ريحة كده ،ريحه أه؟قبّل رأسه وقل واللّه إنّي أحبّك
ADA APA DENGAN “WAHHÂBΔ?
Oleh :
Syaikh Muhammad bin Jamîl Zainū
Orang-orang biasa menuduh “wahhâbî”
kepada setiap orang yang melanggar tradisi, kepercayaan dan bid’ah
mereka, sekalipun keperca-yaan-kepercayaan mereka itu rusak,
bertentangan dengan Al-Qur`ânul Karîm dan hadîts-hadîts shahîh. Mereka menentang dakwah kepada tauhîd dan enggan berdo’a (memohon) hanya kepada Allôh semata.
Suatu kali, di depan seorang syaikh penulis (Syaikh Jamîl Zainū) membacakan hadîts riwayat Ibnu Abbâs yang terdapat dalam kitab Al-Arba’în An-Nawawîyah. hadîts itu berbunyi:
إذا سألتَ فاسأل الله و إذا استعنت فاستعن بالله ” (رواه الترمذي و قال حديث حسن)
“Jika engkau memohon maka mohonlah kepada Allôh, dan jika engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kep-da Allôh.” (HR. At-Tirmidzî, ia berkata hadîts hasan shahîh)
Penulis sungguh kagum terhadap keterangan Imâm An-Nawawî ketika beliau mengatakan,
“ثم إن كانت الحاجة التي يسألها ، لم تجر العادة بجريانها على أيدي خلقه ، كطلب الهداية و العلم .. و شفاء المرض و حصول العافية سأل ربه ذلك ، و أما سؤال الخلق و الاعتماد عليهم فمذموم“
“Kemudian
jika kebutuhan yang dimintanya –menurut tradisi– di luar batas
kemampuan manusia, seperti meminta hidâyah (petunjuk), ‘ilmu, kesembuhan
dari sakit dan kesehatan maka hal-hal itu (mesti) memintanya hanya
kepada Allôh semata. Dan jika hal-hal di atas dimintanya kepada makhluk
maka itu amat tercela.”
Lalu kepada syaikh tersebut penulis katakan, “hadîts
ini berikut keterangannya menegaskan tidak dibolehkannya meminta
pertolongan kepada selain Allôh.” Ia lalu menyergah, “Malah sebaliknya,
hal itu dibolehkan!”
Penulis lalu bertanya, “Apa dalîl anda?” Syaikh
itu ternyata marah sambil berkata dengan suara tinggi, “Sesungguhnya
bibiku berkata, wahai Syaikh Sa’d!” dan Aku bertanya padanya, “Wahai
bibiku, apakah Syaikh Sa’d dapat memberi manfaat kepadamu?” Ia menjawab,
“Aku berdo’a (meminta) kepadanya, sehingga ia menyampaikannya kepada
Allôh, lalu Allôh menyembuhkanku.”
Lalu penulis berkata, “Sesungguhnya engkau adalah seorang ‘âlim. Engkau
banyak habiskan umurmu untuk membaca kitab-kitab. Tetapi sungguh
mengherankan, engkau justru mengambil ‘aqîdah dari bibimu yang bodoh
itu.”
Ia lalu berkata, “Pola pikirmu adalah pola pikir wahhâbî. Engkau pergi berumrah lalu datang dengan membawa kitab-kitab wahhâbî.”
Padahal penulis tidak mengenal sedikitpun tentang wahhâbî kecuali sekedar penulis dengar dari para syaikh. Mereka berkata tentang wahhâbî, “Orang-orang wahhâbî
adalah mereka yang melanggar tradisi orang kebanyakan. Mereka tidak
percaya kepada para wali dan karamah-karamahnya, tidak mencintai Rasul
dan berbagai tuduhan dusta lainnya.”
Jika orang-orang wahhâbî adalah
mereka yang percaya hanya kepada pertolongan Allôh semata, dan percaya
yang menyembuhkan hanyalah Allôh, maka aku wajib mengenal wahhâbî lebih jauh.”
Kemudian
penulis tanyakan jama’ahnya, sehingga penulis mendapat informasi bahwa
pada setiap Kamis sore mereka menyelenggarakan pertemuan untuk mengkaji
pelajaran tafsîr, hadîts dan fiqih.
Bersama
anak-anak penulis dan sebagian pemuda intelektual, penulis mendatangi
majelis mereka. Kami masuk ke sebuah ruangan yang besar. Sejenak kami
menanti, sampai tiada berapa lama seorang syaikh yang sudah berusia
masuk ruangan. Beliau memberi salam kepada kami dan menjabat tangan
semua hadirin dimulai dari sebelah kanan, beliau lalu duduk di kursi dan
tak seorang pun berdiri untuknya. Penulis berkata dalam hati, “Ini
adalah seorang syaikh yang tawâdhu` (rendah hati), tidak suka orang berdiri untuknya (dihormati).”
Lalu syaikh membuka pelajaran dengan ucapan,
إن الحمد لله نحمد و نستعينه و نستغفره
“Sesungguhnya
segala puji adalah untuk Allôh. Kepada Allôh kami memuji, memohon
pertolongan dan ampunan…”, dan seterusnya hingga selesai, sebagaimana
Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam biasa membuka khutbah dan pelajarannya.
Kemudian syaikh itu memulai bicara dengan menggunakan bahasa Arab. Beliau menyampaikan hadîts-hadîts seraya menjelaskan derajat shahîhnya
dan para perawinya. Setiap kali menyebut nama Nabî, beliau mengucapkan
shalâwat atasnya. Di akhir pelajaran, beberapa soal tertulis diajukan
kepadanya. Beliau menjawab soal-soal itu dengan dalîl dari Al-Qur`ânul
Karîm dan sunnah Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Beliau berdiskusi dengan hadirin dan tidak menolak setiap penanya. Di akhir pelajaran, beliau berkata :
الحمد لله على أننا مسلمون و سلفيون ، و بعض الناس يقولون إننا وهابيون فهذا تنابز بالألقاب و قد نهانا الله عن هذا بقوله :
“Segala puji bagi Allôh bahwa kita termasuk orang-orang Islam dan salaf. Sebagian orang menuduh kita orang-orang wahhâbî. Ini termasuk tanâbuzun bil alqâb (memanggil dengan panggilan-panggilan yang buruk). Allôh melarang kita dari hal itu dengan firmanNya,
“ولا تنابزوا بالألقاب” (سورة الحجرات)
“Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” (Al-Hujurat: 11)
Dahulu, mereka menuduh Imâm Asy-Syâfi’î dengan râfidhah. Beliau lalu membantah mereka dengan mengatakan,
إنْ كان رفضا حبّ آل محمد فليشهد الثقلان أني رافضي
“Jika râfidah (berarti) mencintai keluarga Muhammad. Maka hendaknya jin dan manusia menyaksikan bahwa sesungguhnya aku adalah rafidhah.”
Maka, kita juga membantah orang-orang yang menuduh kita wahhâbî, dengan ucapan salah seorang penyair,
إنْ كان تابعُ أحمدٍ مُتوهِّبا فأنا المقِرُّ بأنني وهّابي
“Jika pengikut Ahmad adalah wahhâbî. Maka aku berikrar bahwa sesungguhnya aku wahhâbî.”
Ketika pelajaran usai, kami keluar bersama-sama sebagian para pemuda. Kami benar-benar dibuat kagum oleh ‘ilmu dan kerendahan hatinya. Bahkan aku mendengar salah seorang mereka berkata, هذا هو الشيخ الحقيقي !!! “Inilah syaikh yang sesungguhnya!”
PENGERTIAN WAHHÂBÎ
Musuh-musuh tauhîd memberi gelar wahhâbî kepada setiap muwahhid (yang mengesakan Allôh), sebagai nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahhâb, Jika mereka jujur, mestinya mereka mengatakan“محمدي” Muhammadî nisbat kepada namanya yaitu Muhammad. Betapapun begitu, ternyata Allôh menghendaki nama wahhâbî sebagai nisbat kepada “الوهاب” Al-Wahhâb (Yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari nama-nama Allôh yang paling baik (Asmâ’ul Husnâ).
Jika shufi menisbatkan namanya kepada jama’ah yang memakai shuf (kain wol) maka sesungguhnya wahhâbî menisbatkan diri mereka dengan Al-Wahhâb (Yang Maha Pemberi), yaitu Allôh yang memberikan tauhîd dan meneguhkannya untuk berdakwah kepada tauhîd.
MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHÂB
Beliau
dilahirkan di kota ‘Uyainah, Nejed pada tahun 1115 H. Hafal Al-Qur`ân
sebelum berusia sepuluh tahun. Belajar kepada ayahandanya tentang fiqih
Hambali, belajar hadîts dan tafsîr kepada para syaikh dari berbagai negeri, terutama di kota Madînah. Beliau memahami tauhîd
dari Al-Kitâb dan As-Sunnah. Perasaan beliau tersentak setelah
menyaksikan apa yang terjadi di negerinya Nejed dengan negeri-negeri
lainnya yang beliau kunjungi berupa kesyirikan, khurôfât dan bid’ah.
Demikian juga soal menyucikan dan mengkultuskan kubur, suatu hal yang
bertentangan dengan ajaran Islam yang benar.
Ia mendengar banyak wanita di negerinya ber-tawassul dengan pohon kurma yang besar. Mereka berkata,
“يا فحل الفحول أريد زوجا قبل الحول“
“Wahai pohon kurma yang paling agung dan besar, aku menginginkan suami sebelum setahun ini.”
Di Hijaz, ia melihat pengkultusan kuburan para sahabat, keluarga Nabî (ahlul bait), serta kuburan Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, hal yang sesungguhnya tidak boleh dilakukan kecuali hanya kepada Allôh semata.
Di Madînah, ia mendengar permohonan tolong (istighaatsah) kepada Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, serta berdo’a (memohon) kepada selain Allôh, hal yang sungguh bertentangan dengan Al-Qur`ân dan sabda Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Al-Qur`ân menegaskan:
“و لا تدع من دون الله ما لا ينفعك و لا يضرك فإنْ فعلت فإنك إذا من الظالمين “
“Dan
janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa’at dan tidak
(pula) memberi madharat kepadamu selain Allôh, sebab jika kamu berbuat
(yang demikian) itu, sesungguh-nya kamu kalau begitu termasuk
orang-orang yang zh’âlim.” (Yunus: 106)
Zhâlim dalam ayat ini berarti syirik. Suatu kali, Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam berkata kepada anak pamannya, Abdullâh bin Abbâs:
“إذا سألت فاسأل الله و إذا استعنت فاستعن بالله ” (رواه الترمذي و قال حسن صحيح)
“Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allôh, dan jika engkau meminta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allôh.” (HR. At-Tirmidzî, ia berkata hasan shahîh)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb menyeru kaumnya kepada tauhîd
dan berdo’a (memohon) kepada Allôh semata, sebab Dialah Yang Mahakuasa
dan Yang Maha Menciptakan sedangkan selain-Nya adalah lemah dan tak
kuasa menolak bahaya dari dirinya dan dari orang lain. Adapun mahabbah
(cinta kepada orang-orang shalih), adalah dengan mengikuti amal
shalihnya, tidak dengan menjadikannya sebagai perantara antara manusia
dengan Allôh, dan juga tidak menjadikannya sebagai tempat bermohon
selain daripada Allôh.
PENENTANGAN ORANG-ORANG BATIL TERHADAPNYA
Para ahli bid’ah menentang keras dakwah tauhîd yang dibangun oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb. Ini tidak mengherankan, sebab musuh-musuh tauhîd telah ada sejak zaman Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Bahkan mereka merasa heran terhadap dakwah kepada tauhîd. Allôh berfirman:
“أجعل الله الآلهم إله واحدا إن هذا لشيء عجاب” (سورة ص)
“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat menghe-rankan.” (Shaad: 5)
Musuh-musuh
syaikh memulai perbuatan kejinya dengan memerangi dan menyebarluaskan
berita-berita bohong tentangnya. Bahkan mereka bersekongkol untuk
membunuhnya dengan maksud agar dak-wahnya terputus dan tak
berkelanjutan. Tetapi Allôh Azza wa Jalla menjaganya dan memberinya penolong, sehingga dakwah tauhîd tersebar luas di Hijaz, dan di negara-negara Islam lainnya.
Meskipun
demikian, hingga saat ini, masih ada pula sebagian manusia yang
menyebarluaskan berita-berita bohong. Misalnya mereka mengatakan, dia
(Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb) adalah pembuat madzhab yang kelima, padahal dia adalah seorang penganut madzhab Hanbalî. Sebagian mereka mengatakan, orang-orang wahhâbî tidak mencintai Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam serta tidak bershalâwat atasnya. Mereka anti bacaan shalâwat.
Padahal kenyataannya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb telah menulis kitab ” مختصر سيرة الرسول” “Ringkasan Sejarah Nabî“. Kitab ini bukti sejarah atas kecintaan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb kepada Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Mereka mengada-adakan berbagai cerita dusta tentang Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhâb, suatu hal yang karenanya mereka bakal dihisab
(diperhitungkan) pada hari Kiamat. Seandainya mereka mau mempelajari
kitab-kitab beliau dengan penuh kesadaran, niscaya mereka akan menemukan
Al-Qur`ân, hadîts dan ucapan sahabat sebagai rujukannya.
Seseorang
yang dapat dipercaya memberitahukan kepada penulis, bahwa ada salah
seorang ulama yang memperingatkan dalam pengajian-pengajiannya dari
ajaran wahhâbî. Suatu hari, salah seorang dari hadirin memberinya sebuah kitab karangan Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhâb. Sebelum diberikan, ia hilangkan terlebih dahulu nama
pengarangnya. Ulama itu membaca kitab tersebut dan amat kagum dengan
kandungannya. Setelah mengetahui siapa penulis buku yang dibaca,
mulailah ia memuji Muhammad bin Abdul Wahhâb.
FITNAH TANDUK SETAN DI NEJED
Dalam sebuah hadîts disebutkan:
“اللهم بارك لنا في شامنا و في يمننا ، قالوا و في نجدنا ، قال : من هنا يطلع قرنُ الشيطان” (رواه البخاري و مسلم)
“Ya
Allôh, berilah keberkahan kepada kami di negeri Syâm, dan di negeri
Yaman. Mereka berkata, ‘Dan di negeri Nejed.’ Rasūlullâh berkata, ‘Di
sana banyak terjadi berbagai kegoncangan dan fitnah, dan di sana
(tempat) munculnya para pengikut setan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hajar Al-’Asqalânî dan ulama lainnya menyebutkan, yang dimaksud Nejed dalam hadîts
di atas adalah Nejed Iraq. Hal itu terbukti dengan banyaknya fitnah
yang terjadi di sana. Kota yang juga di situ Al-Husain bin Ali radhiyallâhu ‘anhu dibunuh.
Hal
ini berbeda dengan anggapan sebagian orang, bahwa yang dimaksud dengan
Nejed adalah Hijaz, kota yang tidak pernah tampak di dalamnya fitnah
sebagaimana yang terjadi di Iraq. Bahkan sebaliknya, yang tampak di
Nejed Hijaz adalah tauhîd, yang karenanya Allôh menciptakan alam, dan karenanya pula Allôh mengutus para rasul.
PUJIAN ULAMA TERHADAP SYAIKH
Banyak ulama menyebutkan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb adalah salah seorang mujaddid
(pembaharu) abad dua belas Hijriyah. Mereka menulis buku-buku tentang
beliau. Di antara para pengarang yang menulis buku tentang Syaikh adalah
Syaikh ‘Alî Thanthâwî. Beliau menulis buku tentang سلسلة عن أعلام التاريخ “Silsilah Tokoh-tokoh Sejarah”, di antara mereka terdapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb dan Ahmad bin ‘Irfân (Mujaddid dari India yang terpengaruh dengan dakwah Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb).
Dalam buku tersebut beliau menyebutkan, ‘aqîdah tauhîd sampai ke India dan negeri-negeri lainnya melalui jama’ah haji dari kaum muslimin yang terpengaruh dakwah tauhîd
di kota Makkah. Karena itu, kompeni Inggris yang menjajah India ketika
itu, bersama-sama dengan musuh-musuh Islam memerangi ‘aqîdah tauhîd tersebut. Hal itu dilakukan karena mereka mengetahui bahwa ‘aqîdah tauhîd akan menyatukan umat Islam dalam melawan mereka.
Selanjutnya mereka mengomando kepada kaum Murtaziqah (shufî ahli bid’ah yang zindîq) agar mencemarkan nama baik dakwah kepada tauhîd. Maka mereka pun menuduh setiap muwahhid yang menyeru kepada tauhîd dengan kata wahhâbî. Kata itu mereka maksudkan sebagai padanan dari tukang bid’ah, sehingga memalingkan umat Islam dari ‘aqîdah tauhîd yang menyeru agar umat manusia berdo’a hanya semata-mata kepada Allôh. Orang-orang bodoh itu tidak mengetahui bahwa kata wahhâbî adalah nisbat kepada Al-Wahhaab (yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari Nama-nama Allôh yang paling baik (Asma’ul Husna) yang memberikan kepadanya tauhîd dan menjanjikannya masuk Surga.
Langganan:
Postingan (Atom)