Jumat, 07 Oktober 2011

ADA APA DENGAN “WAHHÂBΔ?



Oleh :

Syaikh Muhammad bin Jamîl Zainū


Orang-orang biasa menuduh “wahhâbî” kepada setiap orang yang melanggar tradisi, kepercayaan dan bid’ah mereka, sekalipun keperca-yaan-kepercayaan mereka itu rusak, bertentangan dengan Al-Qur`ânul Karîm dan hadîts-hadîts shahîh. Mereka menentang dakwah kepada tauhîd dan enggan berdo’a (memohon) hanya kepada Allôh semata.
Suatu kali, di depan seorang syaikh penulis (Syaikh Jamîl Zainū) membacakan hadîts riwayat Ibnu Abbâs yang terdapat dalam kitab Al-Arba’în An-Nawawîyah. hadîts itu berbunyi:
إذا سألتَ فاسأل الله و إذا استعنت فاستعن بالله ” (رواه الترمذي و قال حديث حسن)
“Jika engkau memohon maka mohonlah kepada Allôh, dan jika engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kep-da Allôh.” (HR. At-Tirmidzî, ia berkata hadîts hasan shahîh)
Penulis sungguh kagum terhadap keterangan Imâm An-Nawawî ketika beliau mengatakan,
ثم إن كانت الحاجة التي يسألها ، لم تجر العادة بجريانها على أيدي خلقه ، كطلب الهداية و العلم .. و شفاء المرض و حصول العافية سأل ربه ذلك ، و أما سؤال الخلق و الاعتماد عليهم فمذموم
“Kemudian jika kebutuhan yang dimintanya –menurut tradisi– di luar batas kemampuan manusia, seperti meminta hidâyah (petunjuk), ‘ilmu, kesembuhan dari sakit dan kesehatan maka hal-hal itu (mesti) memintanya hanya kepada Allôh semata. Dan jika hal-hal di atas dimintanya kepada makhluk maka itu amat tercela.”
Lalu kepada syaikh tersebut penulis katakan, “hadîts ini berikut keterangannya menegaskan tidak dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allôh.” Ia lalu menyergah, “Malah sebaliknya, hal itu dibolehkan!”
Penulis lalu bertanya, “Apa dalîl anda?” Syaikh itu ternyata marah sambil berkata dengan suara tinggi, “Sesungguhnya bibiku berkata, wahai Syaikh Sa’d!” dan Aku bertanya padanya, “Wahai bibiku, apakah Syaikh Sa’d dapat memberi manfaat kepadamu?” Ia menjawab, “Aku berdo’a (meminta) kepadanya, sehingga ia menyampaikannya kepada Allôh, lalu Allôh menyembuhkanku.”
Lalu penulis berkata, “Sesungguhnya engkau adalah seorang ‘âlim. Engkau banyak habiskan umurmu untuk membaca kitab-kitab. Tetapi sungguh mengherankan, engkau justru mengambil ‘aqîdah dari bibimu yang bodoh itu.”
Ia lalu berkata, “Pola pikirmu adalah pola pikir wahhâbî. Engkau pergi berumrah lalu datang dengan membawa kitab-kitab wahhâbî.”
Padahal penulis tidak mengenal sedikitpun tentang wahhâbî kecuali sekedar penulis dengar dari para syaikh. Mereka berkata tentang wahhâbî, “Orang-orang wahhâbî adalah mereka yang melanggar tradisi orang kebanyakan. Mereka tidak percaya kepada para wali dan karamah-karamahnya, tidak mencintai Rasul dan berbagai tuduhan dusta lainnya.”
Jika orang-orang wahhâbî adalah mereka yang percaya hanya kepada pertolongan Allôh semata, dan percaya yang menyembuhkan hanyalah Allôh, maka aku wajib mengenal wahhâbî lebih jauh.”
Kemudian penulis tanyakan jama’ahnya, sehingga penulis mendapat informasi bahwa pada setiap Kamis sore mereka menyelenggarakan pertemuan untuk mengkaji pelajaran tafsîr, hadîts dan fiqih.
Bersama anak-anak penulis dan sebagian pemuda intelektual, penulis mendatangi majelis mereka. Kami masuk ke sebuah ruangan yang besar. Sejenak kami menanti, sampai tiada berapa lama seorang syaikh yang sudah berusia masuk ruangan. Beliau memberi salam kepada kami dan menjabat tangan semua hadirin dimulai dari sebelah kanan, beliau lalu duduk di kursi dan tak seorang pun berdiri untuknya. Penulis berkata dalam hati, “Ini adalah seorang syaikh yang tawâdhu` (rendah hati), tidak suka orang berdiri untuknya (dihormati).”
Lalu syaikh membuka pelajaran dengan ucapan,
إن الحمد لله نحمد و نستعينه و نستغفره
“Sesungguhnya segala puji adalah untuk Allôh. Kepada Allôh kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan…”, dan seterusnya hingga selesai, sebagaimana Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam biasa membuka khutbah dan pelajarannya.
Kemudian syaikh itu memulai bicara dengan menggunakan bahasa Arab. Beliau menyampaikan hadîts-hadîts seraya menjelaskan derajat shahîhnya dan para perawinya. Setiap kali menyebut nama Nabî, beliau mengucapkan shalâwat atasnya. Di akhir pelajaran, beberapa soal tertulis diajukan kepadanya. Beliau menjawab soal-soal itu dengan dalîl dari Al-Qur`ânul Karîm dan sunnah Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Beliau berdiskusi dengan hadirin dan tidak menolak setiap penanya. Di akhir pelajaran, beliau berkata :
الحمد لله على أننا مسلمون و سلفيون ، و بعض الناس يقولون إننا وهابيون فهذا تنابز بالألقاب و قد نهانا الله عن هذا بقوله :
“Segala puji bagi Allôh bahwa kita termasuk orang-orang Islam dan salaf. Sebagian orang menuduh kita orang-orang wahhâbî. Ini termasuk tanâbuzun bil alqâb (memanggil dengan panggilan-panggilan yang buruk). Allôh melarang kita dari hal itu dengan firmanNya,
ولا تنابزوا بالألقاب” (سورة الحجرات)
“Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” (Al-Hujurat: 11)
Dahulu, mereka menuduh Imâm Asy-Syâfi’î dengan râfidhah. Beliau lalu membantah mereka dengan mengatakan,
إنْ كان رفضا حبّ آل محمد فليشهد الثقلان أني رافضي
“Jika râfidah (berarti) mencintai keluarga Muhammad. Maka hendaknya jin dan manusia menyaksikan bahwa sesungguhnya aku adalah rafidhah.”
Maka, kita juga membantah orang-orang yang menuduh kita wahhâbî, dengan ucapan salah seorang penyair,
إنْ كان تابعُ أحمدٍ مُتوهِّبا فأنا المقِرُّ بأنني وهّابي
“Jika pengikut Ahmad adalah wahhâbî. Maka aku berikrar bahwa sesungguhnya aku wahhâbî.”
Ketika pelajaran usai, kami keluar bersama-sama sebagian para pemuda. Kami benar-benar dibuat kagum oleh ‘ilmu dan kerendahan hatinya. Bahkan aku mendengar salah seorang mereka berkata, هذا هو الشيخ الحقيقي !!! “Inilah syaikh yang sesungguhnya!”

PENGERTIAN WAHHÂBÎ
Musuh-musuh tauhîd memberi gelar wahhâbî kepada setiap muwahhid (yang mengesakan Allôh), sebagai nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahhâb, Jika mereka jujur, mestinya mereka mengatakanمحمدي Muhammadî nisbat kepada namanya yaitu Muhammad. Betapapun begitu, ternyata Allôh menghendaki nama wahhâbî sebagai nisbat kepada “الوهابAl-Wahhâb (Yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari nama-nama Allôh yang paling baik (Asmâ’ul Husnâ).
Jika shufi menisbatkan namanya kepada jama’ah yang memakai shuf (kain wol) maka sesungguhnya wahhâbî menisbatkan diri mereka dengan Al-Wahhâb (Yang Maha Pemberi), yaitu Allôh yang memberikan tauhîd dan meneguhkannya untuk berdakwah kepada tauhîd.


MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHÂB
Beliau dilahirkan di kota ‘Uyainah, Nejed pada tahun 1115 H. Hafal Al-Qur`ân sebelum berusia sepuluh tahun. Belajar kepada ayahandanya tentang fiqih Hambali, belajar hadîts dan tafsîr kepada para syaikh dari berbagai negeri, terutama di kota Madînah. Beliau memahami tauhîd dari Al-Kitâb dan As-Sunnah. Perasaan beliau tersentak setelah menyaksikan apa yang terjadi di negerinya Nejed dengan negeri-negeri lainnya yang beliau kunjungi berupa kesyirikan, khurôfât dan bid’ah. Demikian juga soal menyucikan dan mengkultuskan kubur, suatu hal yang bertentangan dengan ajaran Islam yang benar.
Ia mendengar banyak wanita di negerinya ber-tawassul dengan pohon kurma yang besar. Mereka berkata,
يا فحل الفحول أريد زوجا قبل الحول
“Wahai pohon kurma yang paling agung dan besar, aku menginginkan suami sebelum setahun ini.”
Di Hijaz, ia melihat pengkultusan kuburan para sahabat, keluarga Nabî (ahlul bait), serta kuburan Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, hal yang sesungguhnya tidak boleh dilakukan kecuali hanya kepada Allôh semata.
Di Madînah, ia mendengar permohonan tolong (istighaatsah) kepada Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, serta berdo’a (memohon) kepada selain Allôh, hal yang sungguh bertentangan dengan Al-Qur`ân dan sabda Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Al-Qur`ân menegaskan:
و لا تدع من دون الله ما لا ينفعك و لا يضرك فإنْ فعلت فإنك إذا من الظالمين
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa’at dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu selain Allôh, sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, sesungguh-nya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zh’âlim.” (Yunus: 106)
Zhâlim dalam ayat ini berarti syirik. Suatu kali, Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam berkata kepada anak pamannya, Abdullâh bin Abbâs:
إذا سألت فاسأل الله و إذا استعنت فاستعن بالله ” (رواه الترمذي و قال حسن صحيح)
“Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allôh, dan jika engkau meminta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allôh.” (HR. At-Tirmidzî, ia berkata hasan shahîh)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb menyeru kaumnya kepada tauhîd dan berdo’a (memohon) kepada Allôh semata, sebab Dialah Yang Mahakuasa dan Yang Maha Menciptakan sedangkan selain-Nya adalah lemah dan tak kuasa menolak bahaya dari dirinya dan dari orang lain. Adapun mahabbah (cinta kepada orang-orang shalih), adalah dengan mengikuti amal shalihnya, tidak dengan menjadikannya sebagai perantara antara manusia dengan Allôh, dan juga tidak menjadikannya sebagai tempat bermohon selain daripada Allôh.

PENENTANGAN ORANG-ORANG BATIL TERHADAPNYA
Para ahli bid’ah menentang keras dakwah tauhîd yang dibangun oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb. Ini tidak mengherankan, sebab musuh-musuh tauhîd telah ada sejak zaman Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Bahkan mereka merasa heran terhadap dakwah kepada tauhîd. Allôh berfirman:
أجعل الله الآلهم إله واحدا إن هذا لشيء عجاب” (سورة ص)
“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat menghe-rankan.” (Shaad: 5)
Musuh-musuh syaikh memulai perbuatan kejinya dengan memerangi dan menyebarluaskan berita-berita bohong tentangnya. Bahkan mereka bersekongkol untuk membunuhnya dengan maksud agar dak-wahnya terputus dan tak berkelanjutan. Tetapi Allôh Azza wa Jalla menjaganya dan memberinya penolong, sehingga dakwah tauhîd tersebar luas di Hijaz, dan di negara-negara Islam lainnya.
Meskipun demikian, hingga saat ini, masih ada pula sebagian manusia yang menyebarluaskan berita-berita bohong. Misalnya mereka mengatakan, dia (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb) adalah pembuat madzhab yang kelima, padahal dia adalah seorang penganut madzhab Hanbalî. Sebagian mereka mengatakan, orang-orang wahhâbî tidak mencintai Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam serta tidak bershalâwat atasnya. Mereka anti bacaan shalâwat.
Padahal kenyataannya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb telah menulis kitab ” مختصر سيرة الرسول“Ringkasan Sejarah Nabî“. Kitab ini bukti sejarah atas kecintaan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb kepada Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Mereka mengada-adakan berbagai cerita dusta tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb, suatu hal yang karenanya mereka bakal dihisab (diperhitungkan) pada hari Kiamat. Seandainya mereka mau mempelajari kitab-kitab beliau dengan penuh kesadaran, niscaya mereka akan menemukan Al-Qur`ân, hadîts dan ucapan sahabat sebagai rujukannya.
Seseorang yang dapat dipercaya memberitahukan kepada penulis, bahwa ada salah seorang ulama yang memperingatkan dalam pengajian-pengajiannya dari ajaran wahhâbî. Suatu hari, salah seorang dari hadirin memberinya sebuah kitab karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb. Sebelum diberikan, ia hilangkan terlebih dahulu nama pengarangnya. Ulama itu membaca kitab tersebut dan amat kagum dengan kandungannya. Setelah mengetahui siapa penulis buku yang dibaca, mulailah ia memuji Muhammad bin Abdul Wahhâb.

FITNAH TANDUK SETAN DI NEJED
Dalam sebuah hadîts disebutkan:
اللهم بارك لنا في شامنا و في يمننا ، قالوا و في نجدنا ، قال : من هنا يطلع قرنُ الشيطان” (رواه البخاري و مسلم)
“Ya Allôh, berilah keberkahan kepada kami di negeri Syâm, dan di negeri Yaman. Mereka berkata, ‘Dan di negeri Nejed.’ Rasūlullâh berkata, ‘Di sana banyak terjadi berbagai kegoncangan dan fitnah, dan di sana (tempat) munculnya para pengikut setan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hajar Al-’Asqalânî dan ulama lainnya menyebutkan, yang dimaksud Nejed dalam hadîts di atas adalah Nejed Iraq. Hal itu terbukti dengan banyaknya fitnah yang terjadi di sana. Kota yang juga di situ Al-Husain bin Ali radhiyallâhu ‘anhu dibunuh.
Hal ini berbeda dengan anggapan sebagian orang, bahwa yang dimaksud dengan Nejed adalah Hijaz, kota yang tidak pernah tampak di dalamnya fitnah sebagaimana yang terjadi di Iraq. Bahkan sebaliknya, yang tampak di Nejed Hijaz adalah tauhîd, yang karenanya Allôh menciptakan alam, dan karenanya pula Allôh mengutus para rasul.

PUJIAN ULAMA TERHADAP SYAIKH
Banyak ulama menyebutkan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb adalah salah seorang mujaddid (pembaharu) abad dua belas Hijriyah. Mereka menulis buku-buku tentang beliau. Di antara para pengarang yang menulis buku tentang Syaikh adalah Syaikh ‘Alî Thanthâwî. Beliau menulis buku tentang سلسلة عن أعلام التاريخ “Silsilah Tokoh-tokoh Sejarah”, di antara mereka terdapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb dan Ahmad bin ‘Irfân (Mujaddid dari India yang terpengaruh dengan dakwah Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb).
Dalam buku tersebut beliau menyebutkan, ‘aqîdah tauhîd sampai ke India dan negeri-negeri lainnya melalui jama’ah haji dari kaum muslimin yang terpengaruh dakwah tauhîd di kota Makkah. Karena itu, kompeni Inggris yang menjajah India ketika itu, bersama-sama dengan musuh-musuh Islam memerangi ‘aqîdah tauhîd tersebut. Hal itu dilakukan karena mereka mengetahui bahwa ‘aqîdah tauhîd akan menyatukan umat Islam dalam melawan mereka.
Selanjutnya mereka mengomando kepada kaum Murtaziqah (shufî ahli bid’ah yang zindîq) agar mencemarkan nama baik dakwah kepada tauhîd. Maka mereka pun menuduh setiap muwahhid yang menyeru kepada tauhîd dengan kata wahhâbî. Kata itu mereka maksudkan sebagai padanan dari tukang bid’ah, sehingga memalingkan umat Islam dari ‘aqîdah tauhîd yang menyeru agar umat manusia berdo’a hanya semata-mata kepada Allôh. Orang-orang bodoh itu tidak mengetahui bahwa kata wahhâbî adalah nisbat kepada Al-Wahhaab (yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari Nama-nama Allôh yang paling baik (Asma’ul Husna) yang memberikan kepadanya tauhîd dan menjanjikannya masuk Surga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar