Kabar yang beredar di masyarakat Desa Hitu dan
sekitarnya menyebutkan bahwa dalam penyerangan Kamis malam, Masjid Raya
Al-Fatah telah membakar dan saya – Imam Masjid tersebut – telah terbunuh
oleh orang-orang Kristen. Kaum Muslimin Desa Hitu itu berkata, “Kalau
Masjid Raya telah terbakar dan Ustadz telah terbunuh, untuk apa lagi
kita hidup ! Mari bersama-sama kita jihad fi sabilillah !”
Di Ambon, jika orang ingin jihad fi sabilillah,
mereka melakukan upacara ritual dulu: mereka mandi membersihkan segala
najis yang mungkin masih melekat di sekujur tubuh, disusul dengan
berwudhu, lalu mengenakan baju perang berupa jubah putih – dari Desa
Hitu, Mamala, Maurela, dan Wakal – yang berjumlah sekitar empat puluh
orang mulai bergerak. Mereka tidak banyak. Orang yang sungguh-sungguh
siap untuk jihad fi sabilillah bukanlah orang sembarangan. Mereka harus
mengerti betul apa hakikat jihad fi sabilillah tersebut.
Setibanya di Paso, mereka dihadang barikade pasukan
Brimob. Pasukan Brimob itu memberi tahu bahwa Masjid Raya Al-Fatah tidak
terbakar. Namun pemberitahuan itu tidak membuat pasukan jubah putih itu
surut langkah. Mereka telah siap berjihad. Karena tidak mau kembali ke
Hitu, akhirnya pasukan Brimob tersebut melepaskan beberapa tembakan ke
arah mereka. “Namun aneh, tak sebutir peluru pun sanggup menembus jubah
putih mereka. Peluru terakhir yang ditembakkan malah mental dan berbalik
menuju aparat yang menembaknya. Ini diakui oleh si penembaknya
sendiri”.
Anggota Brimob itu menuturkan, “Setelah menembak
mereka, peluru itu langsung mental, berbalik ke saya. Untung saya cepat
menghindar. Setelah itu seluruh badan ini bergetar hebat. Gemetar.
Senjata yang saya pegang jatuh. Akhirnya saya bilang sama komandan dan
bahwa mereka ini bukan orang-orang biasa”. Dalam penglihatan pasukan
Brimob itu, empat puluh orang pasukan jubah putih tampak berjumlah
ribuan orang. Empat orang tua berjubah dan bersorban putih yang duduk di
atas empat kuda putih tampak memimpin pasukan besar tersebut. Padahal
orang-orang muslim itu tidak melihat siapa-siapa selain keempat puluh
warga Desa Hitu dan sekitarnya itu, dan tidak satu pun yang mengendarai
kuda.
Setibanya di pinggiran Ambon, mereka dihadang tentara
lagi. Mereka dinasehati agar kembali saja ke Hitu, sebab Masjid
Al-Fatah tidak terbakar dan Ustadz Abdul Aziz masih hidup. Setelah
mengecek kebenaran berita itu, akhirnya mereka pulang dengan damai.
Dalam perjalanan pulang ke Hitu, mereka dihadang orang-orang Kristen.
Terjadilah pertempuran hebat. Dalam waktu singkat seluruh orang-orang
kafir itu berhasil ditumpas. Pertempuran itu menyebabnya seluruh
perkampungan kafirin dan sejumlah gereja. Andai saja pasukan jubah putih
itu tidak dihadang dan diserang, hal tersebut tidak akan pernah
terjadi. Siapa menabur angin akan menuai badai.
Masya Allah
BalasHapusSubhanallah!!!
BalasHapusSubhanallah
BalasHapussegala puji bagi allah
BalasHapusJangan terlalu mengarang cerita. dasar tolol��
BalasHapusluh yang tolol...pasti kamu golongan obet...yang tak bersunat dan tak mandi wajib .... iya khan....
HapusAllah huakbar..Allah huakbar.maju terus umat Islam.yg dijawa Kalimantan Sulawesi Sumatra semua bersatu.rapatkan barisan.klu diambon saudara kita kaum minor.klu diempat pulau ini apa mereka berani????
BalasHapusAllah menurunkan pasukanNya... Allaahu Akbar.
BalasHapusAllah menurunkan pasukanNya... Allaahu Akbar.
BalasHapusMaha suci allah yang selalu melindungi kita.... Semoga yang meninggal dalam perang membela umat islam mati dalam keadaan mati syahid.... Aminnn
BalasHapusMaha suci Allah
BalasHapusTakbirr...
BalasHapusSiapa yang menang pasti islam sebagai benteng kekuatan negara kita tercinta
BalasHapus